Feb 26, 2018

Bulan Januari dan Hygge dari Denmark [Review Buku “The Little Book of Hygge”]




Bulan Januari selalu punya rasa tersendiri bagi saya. Hari-hari sering diwarnai dengan hujan, langit cenderung sering kelabu, AC jarang dinyalakan karena suhu udara lumayan sejuk, dan, terutama dalam dua minggu pertama, orang-orang masih santai karena sebagian masih dalam hawa liburan dan beban pekerjaan belum menumpuk. Hujan, sejuk, dan santai. Kombinasi terbaik bagi saya untuk menikmati segelas teh hangat dan buku atau majalah, di samping Diyan yang asyik membaca komik-komik zombie kecintaannya sambil menyeruput kopi hangat. Sesekali kami ngobrol, membahas bagian cerita dari bacaan masing-masing, dan membenarkan posisi duduk – biasanya salah satu di sofa dan lainnya di karpet, masing-masing dengan dua bantal empuk.

Begitulah salah satu perwujudan konsep hygge dalam keseharian saya. Tentunya pengalaman itu tidak pas sepenuhnya dengan definisi hygge karena konsep ini berasal dari Denmark. Konsep hygge ini spesifik karena sangat melekat dengan budaya dan kondisi fisik negara Denmark, yang jelas sangat berbeda dengan di Jakarta, tempat saya tinggal. Saking uniknya, usaha Meik Wiking menjelaskan arti hygge pun membutuhkan satu buku berisi 285 halaman, lengkap dengan ilustrasi visual – yang membuat saya tertarik dengan buku ini pada awalnya. Dan “The Little Book of Hygge” karya Meik Wiking ini bukanlah satu-satunya buku yang mencoba menjelaskan makna hygge.

Di tahun 2016 ada beberapa buku tentang hygge yang diterbitkan di Inggris. Ini bukan tidak disengaja. Beberapa pertimbangannya adalah menerbitkan jenis buku yang akan dibeli oleh mereka yang tidak biasa membeli buku, serta merebaknya tren ‘cara hidup’ yang dipengaruhi budaya bangsa lain, seperti “Marie Kondo’s The Life-changing Magic of Tidying Up” (buku tentang decluttering oleh Marie Kondo dari Jepang) dan “Norwegian Wood” (buku tentang memotong, mengeringkan, dan menumpuk kayu ala Skandinavia - sespesifik itu!). Ide itu berhasil, konsep hygge jadi mendunia berkat publikasi buku-buku tersebut.

Pertama saya mengetahui tentang buku ini di tahun 2017, tapi baru di awal 2018 saya benar-benar tertarik untuk membeli dan membacanya. Mungkin karena pas dengan suasana di bulan Januari itu tadi.

Jadi, apa itu hygge?

Membaca buku ilustrasi tentang London saat hari dingin, dihangatkan kaus kaki manis. Hyggeligt!


Sepengertian saya dari membaca "The Little Book of Hygge", hygge adalah situasi yang memberi rasa hangat, nyaman, dan bahagia kepada seseorang, yang dinikmatinya di depan perapian di dalam rumah dengan beberapa orang terdekat, dengan cahaya temaram sambil melakukan hal-hal yang sederhana dan menyenangkan, dilengkapi dengan minuman hangat dan kue manis bikinan sendiri, sementara di luar sana cuaca sedang buruk atau teramat dingin.

Mirip ‘cozy’ dalam bahasa Inggris, ya? Tapi bukan. Hygge juga mencakup lokasi. Mirip ‘gezelligheid’ dalam bahasa Belanda? Tidak juga, karena gezelligheid lebih identik dengan musim panas. Beberapa terjemahan dalam bahasa lainnya pun belum ada yang menyamai karena anatomi hygge yang spesifik.

Bab pertama tentang cahaya. Ilustrasinya langsung bikin saya jatuh hati.


Kalau memakai pengertian hygge di atas, detailnya begini.

Kegiatan sederhana dalam situasi hyggelig* (kata sifat dari hygge) bisa berupa membaca buku, main board games, atau ngobrol tentang hal-hal non-politik. Video games? Tidak se-hyggelig board games. Kehangatan dari perapian lebih hyggelig daripada kehangatan dari mesin pemanas. Memakai selimut atau sweater rajutan juga menambah faktor hygge. Lampu temaram bercahaya kuning lebih hyggelig daripada neon putih. Tapi lilin adalah juara hygge dalam hal pencahayaan. Orang Denmark sangat suka menyalakan lilin, bisa empat lilin dinyalakan dalam satu waktu dan bukan pada saat mati lampu.

Minuman hangat itu hyggelig, nomor satu kopi dan nomor dua teh. Kue manis yang dibeli di toko cukup hyggelig, tapi kalah hyggelig dengan kue buatan sendiri, apalagi dengan resep turun-temurun keluarga. Sajian makanan bisa potluck, tapi akan lebih hyggelig jika dimasak bersama-sama. Jumlah orang dalam suatu sesi kumpul-kumpul tidak perlu banyak; kebanyakan orang Denmark menyukai kumpul-kumpul 3-4 orang saja. Hygge bisa di mana saja, seperti di kafe atau bahkan di taman, tapi di dalam rumah atau apartemen adalah tempat yang paling hyggelig. Cuaca di luar rumah bisa agak hangat atau dingin, tapi lebih hyggelig kalau cuaca di luar sedang badai salju.

Jadi, sepertinya hygge bukan hanya apa yang kita rasakan di dalam, tapi juga ada faktor kontras dengan yang di luar. Namun, hygge tidak terbatas pada penjabaran di atas, hanya saja tingkat ke-hygge-annya bisa jadi berbeda-beda dengan situasi lainnya.


Segala hal yang dibuat sendiri menambah ke-hygge-annya.

Tipe sweater Sarah Lund, tokoh serial "The Killing" adalah contoh pakaian hygge.


"The Little Book of Hygge" menjabarkan hygge dalam 14 bab, dari elemen-elemen detailnya hingga hubungannya dengan kebahagiaan. Denmark adalah negara yang sering mendapat ranking 1 dalam indeks kebahagiaan dunia, yang diriset oleh Happiness Research Institute, yang dikepalai oleh Meik Wiking sendiri. Beberapa babnya adalah ‘Togetherness’, ‘Clothing’, ‘Hygge on the Cheap’, ‘Christmas’, dan ‘Hygge and Happiness’. Buku ini juga memberikan 12 ide untuk menciptakan hygge setiap bulan dalam setahun, serta resep-resep makanan yang bisa dicoba.

Seperti biasa, salah satu faktor yang membuat saya tertarik dengan sebuah buku adalah desain sampulnya. I judge a book by its cover. Ilustrasi di sampul dan di dalam buku ini bergaya Scandinavian folk art. Sangat manis, membuat saya terkesiap saat pertama kali melihatnya. Rasanya ingin selalu memeluk buku ini saking menggemaskannya.

(Simak sisi gelap dari kebahagiaan Denmark dan hubungannya dengan tingkat bunuh diri di Ted Talk Meik Wiking ini.)

Daftar isi "The Little Book of Hygge".


And then I judge a book again after I read it. Menurut saya, buku ini bacaan ringan dan feel-good. Semua penjabaran tentang hygge di sini rasanya membuat saya ingin terbang ke Denmark dan menetap di sana, padahal mungkin saya akan mati berdiri ketika diterpa badai saljunya. Penulisannya santai, membolak-balik halamannya menyenangkan karena ilustrasi foto dan gambar vektor yang manis. Beberapa data statistik juga ditampilkan dengan manis.

Namun, di bab-bab akhir, saya merasa kadang ada beberapa poin dan penjelasaan yang merupakan pengulangan dari bab-bab sebelumnya. Lalu ada beberapa bab yang saya pikir kurang perlu, seperti ‘Hygge All Year Round” yang isinya daftar hal-hal yang diperlukan untuk mencapai hygge, karena contoh-contohnya sudah tersebar di bab-bab lain.

Ini statistik atau lollipop?

Semacam 'hygge must-have items'.


Secara keseluruhan, saya suka “The Little Book of Hygge” ini. Enak dibaca, enak dilihat, dan menginspirasi saya untuk menata isi apartemen dan menjalani hari dengan lebih ‘hangat’ dan nyaman.

Saat membaca The Little Book of Hygge, yang sering terbayang oleh saya adalah suasana kumpul-kumpul 8 orang termasuk saya dan Diyan, yang sebagian besar adalah tetangga. Kami menamakan grup WA kami dengan “RRC” – panjang ceritanya. Kumpulnya paling sering di tempat Teddy dan Maesy, yang senang membuatkan kami teh hangat, lalu menyetelkan musik jazz oldies seiring meluncurnya obrolan santai tentang apapun, tapi paling sering mencela-cela Teddy yang suka cari gara-gara. Sesekali kami memainkan permainan sederhana seperti jempol njengat, Heads Up, dan tebak trivia film seri. Nuansa temaram dari lampu kuning di pojok-pojok ruangan menemani, begitu juga kerap makanan pesanan dari Go-Food atau oleh-oleh dari salah satu yang habis keluar kota. Tentunya di luar tidak badai salju, malah kami disejukkan oleh AC di dalam.

A hyggelig night with the RRC gang end of last year.
A hyggelig moment before sleep.


Hygge memang dari Denmark dan identik dengan banyak hal yang sangat Denmark, tapi saya pikir orang di mana saja bisa punya versinya sendiri akan hygge.

Kalau buat kamu, hygge itu seperti apa?

Buku, salah satu elemen yang disarankan dalam hygge.

Bab resep.

Hygge sepanjang tahun. Ada ide apa untuk bulan ini?



Foto RRC oleh Tama.
Foto-foto lainnya oleh saya dan Diyan.

5 comments:

  1. Oh. Ya ampun. Kok ada yg kayak begini ya. Baru tau hahhaha. Nanti aku cari bukunya ah. Sepertinya menyenangkan. Thanks for sharing, Vir! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaaa Mbok.. hidupnya di sana udah sejahtera bener, jadi udah bisa mikirin kayak ginian kali ya :))
      Btw ada yang mirip2 gini lagi yg aku penasaran juga, Lagom, dari Swedia.

      Delete
  2. Wah, ini tipe buku yang dari tampilan luarnya aja udah bikin jatuh hati. Pertama kali aku tau konsep hygge itu sekitar 3 tahun yang lalu pas nonton Scandimania. Jadi ada seorang chef dari UK yang berkunjung ke Swedia, Denmark, dan Norwegia untuk mencari tau apa yang ketiga negara tersebut lakukan dengan benar sehingga mereka sering menempati peringkat puncak di daftar apapun, mulai dari negara dengan korupsi paling rendah sampai negara dengan penduduk paling bahagia.

    Di Denmark dia ngobrol dengan sepasang suami istri mengenai konsep hygge, yang memang tidak ada padanannya dalam Bahasa Inggris. Kalau Monocle bilang konsep hygge ini mirip dengan sabai-sabai di Thailand. Mungkin kalau di Indonesia konsep ini namanya "enak".

    Berada di kasur yang empuk dan hangat: enak!
    Makan makanan sederhana tapi memanjakan lidah: enak!
    Berkumpul bersama orang-orang terkasih: enak!

    Agak random sih kepikiran ini soalnya sering banget kata enak ini dipakai di percakapan sehari-hari. "Wah enak ya kamu udah bla bla bla...", "Saya sih sudah enak di sini, bla bla bla...", "Enak banget sih tempat ini bla bla bla...", dan bahkan kalau sakit pun pakai istilah 'gak enak badan'. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, menarik juga tuh, pengen cari ah Scandimania.
      Iya juga ya, kata 'enak' bertebaran semacam kata 'hygge', walaupun artinya gak sama persis.
      Kalo kata Diyan, kayak kata 'smurf', bisa dipake buat menjelaskan apa aja :))

      Delete
  3. Pas Vira liatin bukunya waktu itu, ku langsung suka sama covernya. Manis ya, di dalamnya juga bagus ilustrasinya. Tapi karena bukan novel, aku cukup mengagumi saja. :)

    ReplyDelete