Jan 16, 2015

Kenapa Harus Anti Membawakan Oleh-Oleh?


Kalau milihnya bener, sebagian kaos-kaos murah di Hanoi ini benar-benar nyaman dipakai!


“Bawain oleh-oleh, ya!” ~ Ini kalimat yang sering saya dengar sebelum bepergian keluar kota, terutama dari teman-teman yang jarang bepergian.

“Eh, udah pulang! Oleh-olehnya mana?” ~ Ini sering saya dengar sepulang bepergian, belum tentu dari orang yang sama dengan yang mengatakan kalimat pertama.

Sempat ada masa saya kesal dan terbebani dengan ucapan ini.
Pertama, karena saya harus meluangkan waktu untuk membeli oleh-oleh, yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menjelajahi destinasi lebih banyak lagi. Kedua, karena saya harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli oleh-oleh, padahal biasanya dana jalan-jalan itu pas-pasan. Ketiga, karena biasanya yang minta oleh-oleh ada banyak, bukan cuma seorang, yang berarti alasan pertama dan kedua pun jadi berlipat ganda.

Lama-lama saya ngeh, ternyata orang-orang yang minta dibawakan oleh-oleh biasanya cuma basa-basi. Ini terlihat dari reaksinya ketika saya tidak membawakan oleh-oleh; mereka acuh tak acuh, paling-paling cuma berkomentar, “Eh, udah pulang!” Lalu saya bingung. Kalau tidak benar-benar mengharapkan oleh-oleh, kenapa mesti bilang minta oleh-oleh?

Pernah juga saya membawakan oleh-oleh untuk sekelompok teman (karena biasanya kalau ngasih ke satu orang, rasanya tidak enak kalau tidak ngasih ke teman-teman lainnya). Untuk menghemat waktu dan biaya, saya suka membelikan suvenir yang sudah satu paket, yang menurut saya sih lumayan bagus, memang tidak spektakuler. Tahu, kan, tipe gantungan kunci, dompet koin, atau boneka kecil yang berenceng. Lalu ketika dibagi-bagikan, reaksi mereka kadang senang, kadang biasa saja. Lalu kadang-kadang suvenir itu dibawa pulang, kadang tertinggal begitu saja di meja (kafe ataupun kantor) tempat saya membagikan sovenir) seperti barang tak berharga. Pffft..

Tapi, dipikir-pikir, kalau saya membelikan oleh-oleh ala kadarnya, wajar kalau responsnya pun ala kadarnya juga.

Babi pun kesal kalau pemberiannya ditelantarkan begitu saja.


Setelah mengalami beberapa kejadian seperti di atas, saya memutuskan untuk mengabaikan saja omongan minta oleh-oleh. Anggap saja basa-basi semua. Jalan-jalan pun jadi lebih nyaman dan ringan.

Suatu hari, saya sedang mendengarkan cerita Fenia tentang liburannya di Jepang. Dia bercerita tentang fasilitas untuk lansia di sana, tentang tuan rumah AirBnB-nya, dan lain-lain. Sampai ketika dia bercerita tentang pengalamannya mencarikan oleh-oleh untuk beberapa teman kantornya, saya berkomentar, “Kok, lo baik banget, sih? Mau repot-repot bawain oleh-oleh?”

Fenia menjawab dengan santai, kira-kira begini, “Yaaa, mereka minta, nggak apa-apalah, kan mereka juga senang. Tinggal gue carikan yang murah tapi bagus, beres.” Setelah itu Fenia menunjukkan foto oleh-oleh tersebut, dan saya setuju, pernak-pernik itu bagus dan tidak terlihat murahan. Saya tak heran kalau Fenia bisa menemukan oleh-oleh demikan karena dia ini memang manusia yang sabar dan jeli.

Suvenir standar menurut saya, kadang berarti banyak bagi orang lain. Bisa juga sebaliknya, sih. 


Setelah diingat-ingat, sebenarnya saya sesekali pun tetap saja suka membelikan oleh-oleh, biasanya  untuk teman-teman dekat atau anggota keluarga. Misalnya sekantung bubuk kopi Toraja untuk si Fenia yang gemar menyeruput kopi dan belum pernah ke Tana Toraja. Atau sekantung bakso Sony dari Lampung untuk Jaka yang penggemar beratnya sejak kecil. Atau selembar kain batik Bali untuk Danti si pencinta batik. Atau baju-baju mungil dan menggemaskan di pasar malam Chiang Rai untuk keponakan-keponakan yang selalu bikin kangen. Semua itu biasanya saya bawakan tanpa harus diminta.

Pernah juga saya membelikan kakak saya titipan magnet kulkas dari Myanmar atau body lotion dari Singapura yang belum dijual di Jakarta, yang kalau bukan karena dia belum tentu saya akan ke toko-toko tersebut. Tapi, rasanya senang-senang saja. Walaupun kami bukan kakak adik yang paling akur sedunia, bahkan frekuensi bertengkar baru berkurang saat sudah tidak tinggal serumah, tapi saya sayang sama kakak saya yang perfeksionisnya kadang bikin pusing itu. Jadi, bahkan sebelum dia nitip apa-apa, kadang saya duluan yang bertanya, “Mau dibawain apa, Uni?”  

Ternyata saya tidak anti membawakan oleh-oleh. Malah, sejujurnya saya merasa senang kalau bisa membawakan oleh-oleh untuk orang-orang yang saya ingin bawakan, yang saya tahu kegemaran khasnya apa, dan orang-orang yang saya sayangi. Selain itu, biasanya barang-barang tersebut bukan yang sulit saya dapatkan ketika jalan-jalan, dan juga tidak jauh di luar anggaran yang sudah saya persiapkan. Tentunya, karena saya pun ogah kalau perjalanan saya terganggu hanya karena oleh-oleh.

Intinya, kalau oleh-oleh bisa membuat orang senang dan saya pun tidak merasa direpotkannya, saya pikir tak ada salahnya berusaha sedikit untuk membawakan oleh-oleh. Apalagi, tidak semua orang punya kesempatan yang sama untuk jalan-jalan. Malah mungkin sebagian orang, oleh-oleh khas bisa mewakili sejumput cerita tentang daerah di luar sana, yang mungkin suatu hari nanti justru memicunya untuk bepergian, tak lagi harus merasakan pengalaman dari cerita dan oleh-oleh orang lain saja.

Saya sudah tak pernah lagi meminta oleh-oleh (beda ya dengan titipan barang yang saya bayar). Namun, tetap saja saya senang kalau ada yang membawakan oleh-oleh, karena saya merasa diingat dalam perjalanannya, kalaupun benda itu bukan selera saya. Ketika orang sedih atau susah, wajar dia mengingat orang lain. Tapi ketika dia senang, adalah suatu hal istimewa jika dia masih mengingat orang lain dan rela repot sedikit membawakannya oleh-oleh. 

The devil is in the details. Terkadang, begitu juga dalam memilih oleh-oleh.



6 comments:

  1. Soal oleh-oleh menurutku kalau ikhlas ya bawain aja makanan kecil khas tempat liburan kita, kalau lagi 'males' beli ya tunjukin aja foto-foto liburan kita, hihi.. Basa-basi dibales basa-basi juga :D

    Kecuali kalo untuk keponakan, itu sih bocahnya belum bisa minta juga tantenya pasti pengen beliin ini itu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, seikhlasnya.. tapi nggak perlu juga kita nyuruh orang untuk gak minta oleh-oleh, terserah kita aja nanggepinnya gimana :D
      haha iya, ponakan cilik belum bisa minta..

      Delete
  2. Eh aku ngak perna bawa oleh2 apapun buat siapapun. Emak gw lebih seneng kalo gw abis jalan2 kirim duit dibandingkan kirim oleh2 hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. gakpapa kak, bebas aja.. aku cuma gak sependapat dengan orang yang sampe anti banget bawain oleh2, sampe harus sinis, secara online pula. Kadang kita lupa aja sih, bahwa dibawain oleh2 tuh bisa sangat menyenangkan, dan bikin orang senang juga bikin kita senang, apalagi kalo orang itu kita sayangi. Tapi kalo mereka pilih dikirim duit, ya hamdallah ya kak, gak perlu nambah bagasi :))

      Delete
  3. Buku lo dari Thailand abis gw pake, dan gw selalu happy dibawakan kopi dari daerah2 yang jarang gw jajaki. Hihi.. thanks, Viraaa! :*

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh, kopi ya? oke, akan diingat. hihi
      wah, senangg kalo oleh2nya bisa berguna :D

      Delete