Nov 15, 2017

7 Hal yang Berkesan dan Non- Turistik di Heraklion




Istana Knossos yang kisahnya penuh drama dan Heraklion Archeological Museum (HAM) yang koleksinya tak habis-habis disimak, adalah dua tujuan utama saya dan Diyan selama di Heraklion. Selain itu, kami lebih banyak melakukan hal-hal di luar rencana selama empat hari di ibukota wilayah Kreta ini. Entah kenapa, dan ini di luar kebiasaan, banyak tempat bersejarah yang tidak kami kunjungi di sana, seperti benteng Koules peninggalan dari abad ke-16 dan Pulau Dia tempat bukti-bukti sejarah bangsa Minoa.

Jadi, kalau banyak tempat yang tidak dikunjungi, apa saja yang kami lakukan di Heraklion, selain ke Istana Knossos dan HAM?

1.     Mengapung di air dingin Laut Aegea

Dua malam pertama kami menginap di Amoudara, daerah pinggiran Heraklion. Kami memilih hotel studio di sana karena lokasinya di tepi pantai dan memiliki kursi-kursi pantai yang atraktif saat kami lihat di Booking.com. Maka di hari kedua tak kami lewatkan kesempatan untuk berenang di laut – yang ternyata dinginnya minta ampun! Duduk di kursi pantai pun kami tak tahan lama-lama karena anginnya yang brrrr! Ampun deh, kulit tropis ini memohon-mohon untuk minta kembali ke dalam kamar yang hangat. Walhasil, kami lebih banyak menikmati suasana pantai dari balkon kamar sambil sarapan.







2.     Beli tiket bus dalam bahasa Jerman

Tiket bus kota di Yunani tidak dibayar di atas bus ataupun loket khusus, melainkan di kios-kios tertentu di pinggir jalan. Saat hendak ke tengah kota Heraklion, itu kedua kalinya kami naik bus selama di Yunani. Sebelumnya di Athena, saat kami belum tahu cara membeli tiket bus, yang berakhir dengan tidak membayar sama sekali dan turun di tempat sembarang karena takut keburu ditangkap akibat tidak membayar tiket bus!

Pengalaman kedua ini tidak lebih mulus. Ibu tua penjaga kios hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Yunani dan Jerman! Jadi, ketika kami otomatis berbicara padanya dalam bahasa Inggris, dia terlihat ogah-ogahan meladeni dan tetap menjawab dalam dua bahasa yang tidak kami kuasai itu. Lalu saya mengerahkan segala ingatan pelajaran bahasa Jerman saat les di Goethe Institut dahulu kala dan berhasil bertanya, “Eins funfzig?” yang artinya “1,50?”. Maksudnya, saya bertanya apakah harga tiketnya 1,50 euro. Dua kata yang akhirnya berhasil mengantarkan kami ke pusat kota.




3.     Nonton bioskop

Salah satu kesenangan saya saat di luar negeri adalah nonton bioskop. Banyak teman yang bertanya, “Ngapain?! Kan di Jakarta juga bisa!” Iya, sih, tapi kan tiap negara punya aturan bioskop yang berbeda-beda. Di Amerika penjaga karcis cuma satu, yaitu sebelum kamu masuk ke deretan pintu teater. Jadi pernah setelah saya selesai nonton “Home Alone 2”, masuk ke teater lainnya tempat ibu saya nonton “I Will Always Love You” (tebak, tahun berapa). Di Bangkok, penonton diharuskan berdiri dan menghormati sang raja sepanjang lagu kebangsaan mereka diputar sebelum film dimulai. Di Singapura, mahal.

Kami menonton “Mad Max” di Odeon Talos. Harga tiket  7.5 per orang. Susunan kursinya mirip dengan bioskop di sini, kursi makin belakang makin tinggi posisinya, sedangkan joknya berwarna biru keunguan. Teks film tentunya dalam bahasa Yunani, maka kami sengaja memilih film dalam bahasa Inggris supaya masih bisa mengerti ceritanya.

Pengalaman berbeda dalam nonton bioskop di Athena pernah sekilas saya ceritakan di sini, tapi kapan-kapan akan saya ceritakan dengan lebih detail.

4.     Berputar-putar mencari tempat parkir

Kami pergi ke bioskop naik motor sewaan. Di Talos Plaza kami kesulitan mencari tempat parkir motor dan tak ada penjaga yang bisa ditanyai. Maka kami berputar-putar di seputar mal untuk mencari tempat parkir. Karena jalanan di seputar mal kebanyakan jalan sempit dan satu arah, beberapa kali kami melewati jalan yang sama demi mencari tempat parkir motor. Lalu ketika kembali mendekati mal, kami melihat beberapa motor parkir di trotoar dekat pintu masuk. Ya sudah, kami putuskan untuk parkir di situ juga.

Yang agak saya sesali adalah kami tak menyisihkan banyak waktu untuk berjalan kaki di kota Heraklion. Saat repot mencari tempat parkir, saya melihat banyak gedung tua Venetian dengan trotoar yang cukup ramai orang berlalu-lalang. Sepertinya akan menyenangkan jika kami berjalan kaki tanpa tujuan, hanya untuk merasakan suasana kota tua itu.




5.     Makan nasi goreng

Selama sebulan di Yunani saya tidak kangen nasi, cuma kangen sambal. Sedangkan Diyan, dari minggu pertama pas di Santorini sudah mulai mencari nasi yang akhirnya ia dapatkan di restoran Cina. Sekitar dua minggu kemudian, di Heraklion, Diyan kembali kangen nasi. Harapan terbesar untuk menemukannya adalah di restoran Cina, atau setidaknya Asia. Voila! Tak jauh dari Talos Plaza kami menemukan restoran dengan simbol huruf kanji.

Restorannya cukup besar tapi sepi. Letaknya di lantai 2 dengan pemandangan laut. Ketika membaca daftar menu, Diyan seperti menemukan harta karun: ada menu Nasi Goreng Indonesia!

Kami sempat mengobrol dengan pemilik restoran itu yang ternyata orang Filipina. Semua pegawainya orang Asia tapi tidak semua dari Filipina. Si Ibu terkejut ketika mengetahui tempat kami memarkir motor, yaitu di trotoar. Menurutnya kurang aman di situ. Glek! Kami buru-buru menghabiskan nasi goreng yang rasanya biasa saja. Ketika keluar dari restoran, untunglah si motor masih parkir dengan manisnya.





6.     Mengintip kota dari Airbnb mewah

Di malam ketiga kami menginap di sebuah apartemen tengah kota. Kunci apartemen yang berada di lantai 3 itu digantungkan begitu saja di lubang kunci pintu bagian luar, padahal pintu masuk utama ke gedung apartemen pun tidak tertutup dan tidak ada penjaganya. Mirip kejadiannya dengan hotel di Amoudara, ketika check in kami cukup mengambil kunci kamar yang ditaruh di meja lobi. Wah, hebat sekali keamanan di Heraklion! Tapi kenapa si pemilik restoran tadi khawatir motor kami hilang di trotoar, ya?

Airbnb kami kali ini sungguh keren! Bukan hanya apartemennya luas, lokasinya strategis, perabotnya bagus, dapurnya lengkap dengan kompor listrik dan bumbu masak, di dalam kulkas ada buah-buahan, dan di situ juga disediakan teropong bintang! Oh, satu lagi, apartemen ini punya halaman rooftop! Mewah, untuk harga 60 euro/malam, dibandingkan penginapan kami lainnya.

Sekarang saya ingat, inilah salah satu penyebab kami tidak jalan-jalan sebanyak biasanya. Kami terlalu nyaman bermalas-malasan di apartemen, menyaksikan kehidupan kota lewat lensa teropong, dan memerhatikan kapal besar lalu lalang di pelabuhan dari rooftop.

Sayangnya, apartemen bagus ini juga menjadi tempat kenangan yang kurang enak: Diyan tak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai hingga rusak!







7.     Belanja ponsel

Kami memutuskan agar Diyan beli ponsel lagi segera. Toh, kalau tidak beli di situ, nanti di Jakarta pasti akan beli juga. Maka hari terakhir di Heraklion, yang cuma sampai siang hari, kami habiskan dengan berburu ponsel.

Apartemen terletak hanya sekitar 30 menit jalan kaki dari pertokoan yang kami tuju. Kami berjalan melewati deretan toko dan restoran, dan seorang SPG menawarkan kouluri gratis, kudapan Yunani favorit saya yang mirip bagel. Sambil mengunyah kouluri kami terus berjalan melewati pepohonan yang dilatari tembok panjang, bekas tembok pelindung kota dari abad ke-15 (kalau tidak salah).

Sementara Diyan memilih ponsel, saya sempat berjalan-jalan di sekitar toko, malah sempat masuk ke toko Stradivarius untuk ‘studi banding’. Suasana kota tenang-tenang saja pagi itu, lebih banyak kendaraan parkir daripada orang yang lalu lalang. Gedung-gedung bertingkat yang tak terlalu tinggi berderet, sebagian modern dan sebagian cukup klasik. Lalu kami kembali ke apartemen begitu Diyan keluar dari toko dengan sumringah, menenteng ‘mainan’ barunya.







Begitulah pengalaman kami selama 4 hari 3 malam di Heraklion, kota paling modern di Pulau Kreta. Memang aktivitas kami tidak padat, tapi tetap banyak hal yang berkesan. Setelah diingat-ingat, mungkin saat itu kami sedang lelah karena sudah 2 minggu berjalan di Yunani, bergerak dari kota ke kota, pulau ke pulau. Mungkin juga karena kami lagi menghayati ‘slow traveling’.

Di hari terakhir kami naik bus kembali ke Chania (salah perhitungan – padahal sebenarnya di Heraklion juga ada bandara) untuk terbang ke Thessaloniki. Petualangan santai di Litochoro, Gunung Olympus, Meteora, Kalambaka, Athena, dan Hydra selama dua minggu ke depan menanti.



5 comments:

  1. hahaha, memang sedih ya kalau di luar tuh ada pantai tapi seringnya dingin, pantes aja pada betah di laut kita yang sepanjang tahun anget.
    aak kemarin mau coba nonton bioskop di Edinburgh tapi kata temen tiketnya 450 ribu, tak mampu kakvir. :(((

    btw, saya juga suka studi banding kalau pas ke luar negeri. :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gokil, 450ribu! Kecuali spesial banget bioskopnya sih emang mending ga usah ya..

      Terus, kalo abis studi banding, bawa tentengan banyak nggak? Hihihi..

      Delete
  2. akh, nonton bioskop adalah hal yang paling membuat saia tidak melakukan hal lain (karena ibuk2 ini biasa terbelah pikirannya). nah justru itu kalau di luar negeri biasanya saya malah kecapekan jadi gak nyempetin nonton. sayang pas ke India kemarin temen jalannya gak mau diajak nonton, jadilah kami melewatkannyaaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha..akupun kalo nonton film paling suka di bioskop, karena pikirannya fokus ke situ aja, walaupun bukan ibuk-ibuk :))
      wah, bioskop di india kayak apa ya..

      Delete