Feb 5, 2018

Berkenalan dengan Alam, Masyarakat, dan Kopi Wamena




Pesawat baling-baling yang kami tumpangi, Trigana Air, mendarat dengan agak geradakan di Bandar Udara Wamena, hari Rabu pagi minggu lalu. Saya tak bisa menahan senyum seraya memandangi pegunungan berlapiskan awan putih yang mengitari landasan pacu. Ini pertama kali saya ke Papua, dan belum pernah bermimpi akan ke Wamena hingga ada ajakan ke sana seminggu sebelum berangkat. Tak sabar untuk bermain-main ke kebun kopi Wamena. 

“Itu Sungai Baliem,” ujar Pak Lani yang duduk di sebelah saya, menunjuk pada badan air yang meliuk bagaikan ular gemuk. Lebar sekali sungainya. Pak Lani asli orang Wamena, penerbangan Jayapura-Wamena sudah hampir rutin baginya. “Itu salib besar sekali!” saya menunjuk pada sebuah konstruksi putih berbentuk salib yang mentereng di antara atap-atap rumah dan pepohonan. Saya mendapat info kemudian, bahwa pembangunan salib itu memakan biaya puluhan miliar.

Wamena merupakan ibukota Kabupaten Jayawijaya, berada di dataran tinggi Lembah Baliem. Akses ke sana bisa dilakukan dengan pesawat terbang atau jalan darat lewat ‘Jalan Jokowi’. Ingat berita Pak Jokowi iring-iringan naik motor di Papua? Itulah jalan Trans Papua yang menghubungkan Jayapura dengan Wamena. Sayangnya, belum banyak warga Papua yang menggunakan jalan itu karena tingkat keamanannya yang masih rendah. “Itu jalan jauh dari mana-mana. Kalau kenapa-kenapa, tak ada yang bisa menolong kita di sana,” jelas Pak Lani. Sebab itu, apa-apa yang berasal dari luar Wamena harganya mahal di sana, seperti bahan-bahan bangunan, karena diangkut dengan pesawat. Itu sebabnya salib besar tadi mahal sekali, selain mungkin ada biaya-biaya lainnya yang kita tak tahu.

Pegunungan yang menjadi pemandangan indah sekaligus tantangan bagi para pilot di Wamena.
Bandara yang sudah moderen.

Keluar dari bandara, seorang bapak tua mengenakan koteka mendekati kami, memberi isyarat untuk mengajak berfoto. “Ya ampun, waktu gue ke sini tahun 2008, bapak ini juga ngajak-ngajak foto. Nanti kalau kita foto sama dia, dia akan minta dibayar,” ujar Motulz, teman seperjalanan saya. Sejak 2008? Konsisten sekali dia! Namun kami menolak ajakannya berfoto karena selain tidak berminat, juga mobil penjemput sudah menanti.

Dengan koper dan ransel di bak mobil, kami langsung menuju salah satu desa penghasil kopi di distrik Pyramid. Perjalanan menggunakan mobil double cabin yang dikemudikan oleh Januarius, anak Pak Lani. Tidak sembarang jenis mobil bisa menembus medan Lembah Baliem, yang jamak disebut Wamena saja. Sebagian jalan sudah diaspal, sebagian masih berbatu-batu dan berumput, sebagian besar lagi masih liar.

Sepanjang perjalanan, mungkin selama satu jam, saya terpesona melihat pemandangan alam yang membentang. Pegunungan bermahkotakan awan, berbatasan dengan rerumputan dan pepohonan. Pagar-pagar kayu beratapkan ilalang kering, melindungi honai (rumah tradisional Papua) dari kunjungan hewan-hewan yang tak diinginkan, menciptakan pemandangan yang khas.

Udara sejuk, apalagi jendela mobil kami buka, membuat jaket tak perlu saya lepas. Angin yang bertiup membuat rambut saya riap-riap tak karuan. Lembah Baliem berada di ketinggian 1600 meter dpl ke atas. Ketinggian ini yang membuat kopi asal sana berkualitas baik. “Makin tinggi, makin bagus kualitas kopinya,” kata Pak Piter Tan, pengusaha kopi sekaligus Q-grader yang melakukan perjalanan bersama kami ke Wamena.

(Baca juga cerita Motulz tentang kopi Wamena di blognya Motulz.com.)

Lapangan tempat anak-anak Wamena berlatih main sepakbola.

Pagar khas di Wamena.


Sampai di distrik Pyramid, kami disambut Mama Ria, salah satu petani kopi. Mama yang suaranya empuk ini mengizinkan saya membuntutinya memetik kopi yang sudah merah di kebun. Eh, tapi sebenarnya di Wamena ini belum ada perkebunan kopi. Jadi, yang dimaksud dengan ‘kebun kopi’ di sana adalah kumpulan pohon kopi yang tumbuh di antara pohon-pohon lainnya, di lahan yang lebih menyerupai hutan.  

“Kita ambil itu yang merah saja. Kalau yang hijau itu, jangan,” kata Pak Lani sambil menunjukkan buah-buah kopi yang sekilas mirip melinjo. Sedangkan buah yang sudah berwarna merah tua hingga cokelat berarti sudah ‘lanjut’ alias terlalu tua, hampir busuk. Kopi Wamena adalah jenis Arabica Typica. Saya baru tahu bahwa Arabica lebih harum daripada Robusta. Dua jenis ini yang paling sering dikonsumsi di dunia. Sedangkan dua jenis lainnya, Excelsa dan Liberica, entah kenapa paling jarang.

Pak Maksimus Lani adalah pengumpul kopi terbesar di Wamena, berasal dari desa Walesi. Dulu kopi Wamena hanya dihargai Rp9.000 per kg, sebagian karena kualitasnya yang kurang baik. Maka dulu warga Wamena lebih suka menanam ubi, wortel, dan kol yang lebih besar daya tawarnya. Beberapa tahun belakangan ini semakin banyak warga Wamena yang beralih (kembali) ke kopi sejak Pak Piter membeli dari mereka dengan harga Rp45.000 per kg. Pengusaha kelahiran Jayapura ini juga dengan gigih mengajari para petani cara menghasilkan panen kopi yang berkualitas baik. 

Kopi Wamena tanpa pupuk buatan, pestisida, dan tidak terkontaminasi polusi udara.
Mama Ria yang berbaik hati membiarkan saya bertanya macam-macam dan mengikutinya ke kebun.


Hari kedua kami di Wamena adalah panen besar kopi. Lagi, kami mengikuti para pemetik kopi di hutan Walesi. Mereka berasal dari beberapa desa, seperti Walesi, Tangma, dan Kurulu. Setiap orang yang baru datang menyalami mereka yang sudah ada di sana, termasuk saya dan Motulz yang belum mereka kenal sama sekali.

Keramahan ini saya rasakan di manapun saat di Wamena. Ketika saya sedang berdiri di pinggir jalan saja, mama-mama atau bapa-bapa yang lewat seringkali menghampiri dan menjabat tangan saya, lalu menyebutkan namanya sambil tersenyum, memperlihatkan gigi dan gusi yang merah akibat mengunyah pinang. Kadang saya duluan yang menyapa, kadang mereka yang langsung menghampiri.

Menjelang siang hari itu matahari bersinar terik, tapi para mama, bapa, anak muda dan anak kecil memetik kopi dengan semangat dan ceria. Mama Tina bahkan mengajari saya menyanyikan suatu lagu yang bertema tentang kopi. Saya, sang buta nada, gagal menjadi murid yang membanggakan. Namun tak urung kami tertawa-tawa setelah selesai berjoget dan direkam kamera ponsel saya. Seorang bapak yang sedang membabat rumput liar terkekeh-kekeh melihat kelakuan kami. Untung goloknya tak sampai salah tebas.

Bu Yani dan Mama Tina

Esau memetik kopi saat libur sekolah.

Pak Piter, Pak Lani, dan para petani serta anak-anak membawa hasil panen.


Para pemetik menyebar di hutan. Saya tak hapal luas area yang ditanami pohon kopi. Sebagian cukup rapat sehingga saya perlu agak memutar untuk mencapai titik-titik tertentu. Akibat hujan di malam sebelumnya, tanah jadi agak becek, sepatu tak luput dari tanah yang menempel. Tidak seperti saya, para pemetik melangkah dengan cepat dan pasti, tak peduli kaki nyeker, karena hutan itu sudah seperti taman bermain mereka.

“Ini masih sedikit. Nanti kira-kira bulan Maret lebih banyak lagi buahnya,” Pak Lani menjelaskan. Ternyata, dalam suatu siklus panen, terjadi beberapa kali panen. Kali ini adalah tahap pertama. Secara kualitas, lebih bagus biji kopi yang dihasilkan dari panen yang besar nanti.

Setelah hampir dua jam saya di hutan, Pak Lani mengaba-abakan para pemetik untuk berkumpul dengan hasil petikan mereka. Berember-ember buah kopi berkulit merah kemudian digotong ke rumah Pak Lani untuk diproses. Kami berjalan beriringan dengan petani-petani lain yang mengangkut hasil bumi seperti pisang dan kol di dalam tas noken mereka. Suasana terasa ceria sekali, mungkin karena hasil panen yang baik di bawah naungan langit biru cerah.

Di pekarangan belakang rumah Pak Lani, beberapa orang termasuk Bu Yani, perempuan Jawa yang sudah 20 tahun tinggal di Wamena, memisahkan buah kopi yang bagus dari yang jelek di ember berisi air. Buah yang bagus tidak mengambang di permukaan air, lalu dimasukkan ke mesin pulper untuk dikupas kulitnya. Setelah itu masih ada beberapa tahap pengolahan biji kopi hingga proses pengeringan, tidak selesai dalam sehari saja.

Proses memilah buah kopi yang bagus dan yang jelek (ada udara di dalam, mengambang di permukaan air).

Mengupas kulit kopi dengan mesin pulper.


Keesokan paginya kami kembali naik pesawat ke Jayapura. Waktu kami di Wamena hanya dua hari itu saja. Dua hari yang kebanyakan kami habiskan di seputar urusan kopi. Bentang alam yang indahnya tak terwakili hanya dengan foto-foto jepretan saya, menjadi bonus istimewa. Dua hari untuk menikmati dan menjelajahi Wamena, atau Lembah Baliem lebih tepatnya, tentu tidak cukup. Seperti pada perjalanan-perjalanan menyenangkan lainnya, saya akhiri perjalanan Wamena dengan harapan bisa kembali lagi ke sana.

Baca juga cerita saya tentang bagaimana kopi Wamena telah mengubah sikap saya tentang kopi, di sini. 



Di antara dua honai.

Membawa hasil bumi di dalam noken. 
"But first, let me take a selfie.." LoL.
Kopi sedang dijemur di distrik Pyramid. Saya lupa nama desanya.
Mengaso sejenak setelah panen kopi di Walesi.
Para petani lalu lalang di jalanan Walesi.
Motulz menunjukkan hasil foto ke Pak Elyas.

Pak Lani di depan kandang babi dan honai di Kurulu.
Di depan pagar suatu kompleks honai di Kurulu, bersama Januarius yang sering dipanggil Dian.
Bapa Horame Marian, kepala suku Marian. "Mahkota"-nya ia buat sendiri, dan koleksinya ada 5 macam.
Distrik Pyramid.
Bu Yani, selain sebagai petani kopi Wamena, ia juga membantu di Posyandu.
Babi-babi bebas berkeliaran.

Bapa Elyas, petani ubi dan kol. Baru dari foto ini saya ngeh satu ruas jarinya hilang.
Mungkin karena budaya 'potong jari', untuk menunjukkan rasa kehilangan seorang terkasih yang meninggal.
Model lain pagar khas Wamena.
Kapan lagi menghirup udara sebersih di Wamena?
Pagi yang mendung, semendung hati saya karena harus meninggalkan Wamena. Cieee.






2 comments:

  1. aaak, sebagai pencinta kopi, saya iri sekali dengan trip ini, hahaha.
    sudah pernah coba kopi wamena dan suka juga, ada tokonya yang terkenal di daerah Sentani.

    senang sekali bisa baca cerita kayak begini, apalagi tidak seperti umumnya, kebun kopi di sini alami tumbuh dengan sendirinya. bukan ditanam warga. ditunggu cerita lainnya doooong dari Wamena....

    ReplyDelete
  2. ini trip yang mengubah sikap gua tentang kopi, dari gak peduli jadi mulai peduli :D

    dulunya banget memang ditanam, tapi abis itu diabaikan, bahkan dibabat hampir habis. setelah warga wamena tahu nilai kopi bisa tinggi dan diajarin segala macam tentang kopi, jadi deh mereka menanam kembali, tapi tetap di hutan.

    hayuk kalo mau kopi Wamena lagi ngopi sama-sama RRC :D

    ReplyDelete