Apr 4, 2018

Hydra dan Insiden Sakit Perut



Sejak mulai menyusun rencana perjalanan ke Yunani bertahun-tahun sebelum berangkat, Hydra sudah menjadi salah satu tujuan saya. Yang paling bikin saya tertarik adalah bahwa di pulau ini tidak ada kendaraan bermotor, dan transportasi hanya dengan keledai. Namun akhirnya saya dan Diyan memutuskan untuk main ke Hydra seharian saja, hampir di penghujung perjalanan Yunani kami. Seperti kebanyakan orang, kami menjadikan Hydra destinasi one-day-trip dari Athena.

Kapal hidrofoil Flying Cat mengangkut kami berlayar selama dua jam dari pelabuhan Piraeus ke Hydra. Isi kapal turis semua, berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Laut dan langit yang biru cerah mengiringi perjalanan dan menyambut kami di pelabuhan Hydra. Jajaran gedung abu-abu dan kucing-kucing menggemaskan menjadi pemandangan pertama kami di sana.

Kota Hydra Port, tempat pelabuhan berada, adalah bagian teramai di Hydra. Barisan keledai dan para penuntunnya menanti para turis yang baru saja turun dari  kapal. Saya yang dulu semangat ingin mencoba naik keledai di Hydra, telah berubah pikiran sebelum berangkat ke Yunani. Pasalnya, ada beberapa tulisan di internet yang menyatakan bahwa kesejahteraan keledai-keledai pekerja keras ini belum tentu terjamin. Saya tidak tahu pasti kebenerannya. Dan sayangnya, kami gagal ke donkey sanctuary ketika di Pulau Kreta, sehingga batal mendengar langsung cerita tentang nasib keledai di sana. Kebetulan tujuan utama kami di sana adalah trekking ke Profitis Ilias Monastery, jadi memang tidak perlu naik keledai.

But first, Greek Salad.


Selain khas, juga relatif murah dan mengenyangkan. 

Di pelabuhan.

Random taverna.


Jajaran restoran di Hydra Port penuh sesak oleh pengunjung. Tak heran, karena waktu itu akhir pekan dan sudah mulai masuk musim panas. Kami memilih makan siang di restoran kecil yang sedikit jauh di dalam gang, dengan suasana yang lebih tenang. Karena kami sudah membeli tiket kapal untuk kembali ke Piraeus jam 5 sore, habis makan kami bergegas jalan lagi agar tak membuang waktu. Rute trekking ini akan memakan waktu beberapa jam pulang pergi (lupa pastinya). Karena saya bukan trekker andal, kami harus menyiapkan waktu lebih lama agak tidak ketinggalan kapal nantinya.

Kami melewati gang-gang kecil khas Yunani yang semakin lama semakin menanjak. Pintu dan jendela berkusen biru, merah, biru, kuning, dan biru lagi, mewarnai dinding-dinding putih dan dinding bebatuan. Tanaman-tanaman dalam pot menghiasi pinggiran gang, dan angin semilir mengiringi langkah kami di atas jalan berbatu dan jalan tanah. Lingkungannya terasa asri, tapi sepi, tak satupun manusia yang kelihatan.

Pemandangan saat hiking.

Gang senggol.


Hampir satu jam berjalan, kami tiba di suatu pertigaan. Jalan di hadapan kami lebih besar, tapi tetap sepi. Di tengah diskusi untuk menentukan belok ke kanan atau kiri, Diyan mengucapkan kalimat yang menjadi penentu petualangan kami selanjutnya.

“Aduh, pengen eek.”

Yha.

Walaupun sudah biasa dengan situasi begini (Diyan juaranya kalau soal pengen eek di mana saja dan kapan saja), kami sempat agak panik, karena mengejar waktu untuk trekking dan kapal balik. Tapi, ya sudah, kami celingak-celinguk cari WC umum ataupun bangunan yang tampaknya punya WC untuk ditumpangi. Nihil. Yang ada di pertigaan itu hanya pepohonan. Kami berjalan sedikit entah ke arah mana, lalu melihat sebuah gereja. Pasti gereja punya WC, dong!

Tapi apalah artinya suatu bangunan punya WC kalau semua pintunya terkunci.

Dammet!

Sembari menunggu gejolak perutnya tenang, Diyan cuma bisa duduk di depan pintu gereja. Saya duduk di bangku kayu yang menghadap ke laut, menikmati pemandangan pulau. Rumah-rumah putih beratap jingga diselingi pepohonan hijau memenuhi lembah, dikelilingi bukit tandus. Pemandangan indah itu pun kemudian mendatangkan inspirasi.

“Numpang di WC rumah penduduk saja!” Entah ini ide saya atau Diyan.

Maka kami berjalan sedikit menuruni bukit, ke area pemukiman yang cukup padat. Begitu melihat suatu pintu rumah terbuka, kami menyapa, “Hello. Kalimera. Excuse me.”

Tak ada jawaban.

Kami menyapa lagi hingga dua atau tiga kali. Lalu muncul seorang perempuan paruh baya berambut merah jagung muncul dari balik tirai pintunya. Syukurlah ia bisa berbahasa Inggris, sehingga – dengan canggung – kami bisa menyampaikan maksud dan tujuan. Syukur lagi, perempuan yang ternyata sedang tidur siang itu, ternyata ramah dan pemurah. Ia mempersilakan Diyan masuk dan menggunakan kamar mandinya.

Sambil menunggu Diyan menyelesaikan panggilan alamnya, perempuan ini – yang, sebalnya, saya lupa namanya – menemani saya di teras kecil rumahnya sambil mengobrol. Melihat wajah asing, bermata kecil, berkulit cokelat, dan bicara dalam bahasa Inggris seperti kami, tentunya ia bertanya dari mana kami berasal. Yang mengejutkan, kemudian dia berkata, “I’ve been to Jakarta, long time ago.”

Whaaaattt??

Jauh-jauh di perbukitan suatu pulau kecil di sisi bumi yang lain, saat kebanyakan orang di sana mengira kami dari Cina, ternyata ada juga yang sudah pernah ke Indonesia. Dan ke Jakarta, bukan Bali. Obrol punya obrol, ternyata ia ke Jakarta dalam rangka pekerjaan, semacam memberi pelatihan dalam bidang bahasa dan hubungannya dengan psikologi. Duh, saya ingat bahwa poin-poin ceritanya menarik, tapi saya lupa detailnya. Kalau tidak salah, ia bilang bahwa bahasa Yunani itu salah satu bahasa terbaik untuk melatih perkembangan otak. Hm, menarik juga untuk dicari tahu lebih lanjut.

Turun ke perumahan.

Punya teras dengan pemandangan begini, siapa yang nggak mau?


Kami masih melanjutkan obrolan setelah Diyan muncul kembali ke teras. Perempuan baik hati ini memberi saran beberapa pantai terbaik di Hydra. Ya, kami berubah rencana karena dengan detour ini sudah tak cukup waktu bagi kami untuk hiking ke Profitis Illias Monastery. Jadi, pergilah kami ke pantai.

Hydra dulunya bernama Hydrea, yang berarti ‘air’ dalam bahasa Yunani. Dinamakan demikian karena, konon, dulu di Hydra banyak mata air, tapi sekarang sudah pada kering. Air bersih pun, menurut artikel yang pernah saya baca, dibawa dari mainland. Namun karena Hydra punya banyak pantai bagus, ‘wisata air’ tetap menjadi salah satu daya tarik utama.

Setelah nyasar-nyasar sedikit, akhirnya kami sampai di suatu pantai. Entahlah ini pantai yang kami tuju atau bukan, itu tidak begitu penting. Yang jelas, pantai ini berbentuk teluk, dan kita harus berjalan ke bawah untuk mencapai pasirnya. Air lautnya biru banget dan bergradasi ke toska, kontras dengan tebing batu yang pucat.

Di satu sisi teluk berdiri sebuah resor. Sebagian pantai ramai dengan wisatawan, kebanyakan tampaknya anak-anak muda. Ada yang berjemur, ada yang berenang, ada yang bercanda riuh rendah, semua terkesan gembira. Ingin sekali kami mencoba berenang juga di sekitar mereka, tapi, uuuh, sayangnya kami salah kostum untuk pantai. Jadi kami cuma duduk di batu sambil melihat-lihat saja. Sempat turun ke pantai tapi rasanya ribet karena harus buka-buka sepatu trekking segala dan menentengnya, tidak bawa handuk pula.

Entah ini pantai yang benar atau bukan.


Tak terasa hari sudah mulai sore. Kami berjalan lagi menuju pelabuhan. Setiap ada pemandangan bagus, dan itu sering, kami berhenti dan menikmatinya. Salah satu area yang kami lewati tampak seperti kota tua dan sepi, mungkin semua tutup karena itu hari libur. Sampai di pelabuhan, ternyata kapal kami belum datang. Baiklah, itu berarti saatnya makan es krim. Sejak menyicipi es krim fistiki (pistachio) diThessaloniki, saya selalu meminta es krim rasa fistiki. Sayangnya, waktu itu fistiki sedang habis, tapi dengan es krim almond pun saya bahagia, apalagi menjilatinya sambil lihat-lihat area pelabuhan.

Keledai-keledai masih berderet, ada yang sedang ditunggangi anak kecil yang kegirangan. Kafe-kafe sudah mulai sepi, toko-toko suvenir sudah mulai menutup etalasenya. Kami berdiri di antara puluhan turis yang sedang menunggu kapal untuk kembali ke Athena. Sekitar satu jam kemudian kapal datang, semua pengantre bergegas naik. Satu jam, yang sebenarnya bisa jadi waktu tambahan untuk saya dan Diyan melanjutkan trekking setelah insiden sakit perut tadi. Oh, well. Tapi tak apa-apa. Gagal rencana awal, kami pun mendapatkan pengalaman unik lainnya. Menumpang WC orang yang tidak kami kenal dan bertukar cerita dengan latar pemandangan istimewa.

Sampai berjumpa lagi, Hydra!

Aaaawww...


Menurut kamu, naik keledai untuk wisata, oke nggak?

Tertiup angin.


Kapal dari Piraeus.

Pasrah sama nasib di pintu gereja.

Banyak pintu dan jendela entah ada WC-nya atau nggak.

Mungkin dia pergi mencari WC juga.


Baca: i-dra.

Menunggu kapal yang telat.

Menahan terpaan angin.

Sesama penumpang kapal. 

A cute ice cream parlor.

Sisa turis di sore hari.

Pemandangan dari seberang pelabuhan.

Lovely Hydra.



 Baca juga cerita-cerita perjalanan saya lainnya di Yunani, di sini. 

15 comments:

  1. kenapa YAPA dibaca jadi i-dra, kenapa oh kenapa?

    hahaha ternyata pengin eek menjadi penentu petualangan di Pulau Hydra, ya, hahaha, dan bakal jadi kesan yang tak terlupakan. harusnya judulnya Numpang Eek di Yunani, pasti jadi viral kak. :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaah... gak tega kak mau bikin judul kekgitu.. :)))

      Jadi, Y dibaca 'i'. A yang pertama itu sebetulan Delta, kan nutupnya di bawah kayak segitiga, jadi bunyinya 'd'. P itu ternyata dibacanya 'r', entah kenapa. Jadinya i-d-r-a deh hahahaah

      Delete
  2. Aku terhibur banget baca postingan ini, Kapiya. Kebayang enaknya mamam esgrim pas cuaca cerah, asiknya 'setengah' tracking, sama duduk-duduk liat pemandangan cantek.

    Suka sama foto-fotonya pun... ����

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku ikut senang kalo kamu terhibur :D
      betuuul, asyik banget mamam esgrim dalam suasana demikian.. liburan banget rasanya :D

      Delete
  3. Heuheuheu. Kucingnya gemes gemes gemes heuheuheuheuheu

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa.. gede2 dan bulu tebal, padahal ya kucing jalanan :D

      Delete
  4. Suka sama cerita ini,, tapi malah salah fokus ke bagian numpang eek di rumah orang di pulau Hydra itu,, hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang itu fokus ceritanya.. hydra-nya mah sampingan :)))
      glad you enjoyed it ^.^

      Delete
  5. Aku juga sering begini. kebelet di saat gak.baik alias traveling. Pas di pulau semau dianteri guide ke rumah keluarganya yg di situ dan ku habisin separo aer baknya.. duh jd merasa bersalah..tapi lega wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahahaaaaa... kasian tu keluarga, semoga dilimpahkan rezeki abis nolong orang kebelet :))
      kalo aku, lebih gak tahan itu pipis.. ya pernah sampe numpang ke rumah orang juga sih..haha

      Delete
  6. Wahaha kocak juga itu kebelet pup.

    Ah aku jadi pengen belajar bahasa Yunani :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku pas di sana belajar cara baca aksaranya dari youtube, dan lumayan banget nolong jadi nggak nyasar2 :D
      sekarang udah ada mobile apps buat belajar bahasa, cobain ajaaa :D

      Delete
  7. Sebagai orang yang pernah galau nahan pengen pipis sepanjang jalur turun dari Ranu Kumbolo ke Ranu Pane, aku bisa memahami perasaan Diyan pas duduk di depan pintu gereja itu. :D

    Dan itu, kok bisa pas banget ngetok rumah ibu-ibu yang bisa bahasa Inggris, dan pernah ke Jakarta pun!

    Foto-fotonya gemash sekali, Piyaaa... Aku suka foto keledai yang kedua!

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa, keledai-keledai itu menggemaskan. semoga hidup mereka baik.
      hahaha.. paling malesss yaaa perjalanan yang diisi dengan kebelet :))

      iya, kebetulan banget ya, padahal banyak juga orang Yunani lainnya yang bahkan nggak tau Indonesia itu di mana, atau cuma pernah denger dikit2 doang.. Lha ini malah pernah ke Jakarta! :D

      Delete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete