May 29, 2018

Sejarah Kelam Seputar 'Death Railway' di Kanchanaburi, Thailand




Lintasan kereta yang mematikan bagi para pembangunnya.


Di tengah-tengah tripBangkok yang lalu, saya menyempatkan untuk melipir ke Kanchanaburi  selama dua hari satu malam. Detour  ini dipicu oleh film The Railway Man yang saya tonton sebelumnya. Film yang dibintangi oleh Collin Firth dan Nicole Kidman ini berkisah tentang efek traumatis dari penyiksaan tahanan perang Sekutu oleh Jepang yang terjadi di Thailand, khususnya di Kanchanaburi. Seperti yang kita tahu, tentara Jepang kalau menyiksa bisa sangat sadis. Itu pula yang terjadi di Kanchanaburi di sekitar tahun 1942-1943, dan ini adalah kisah nyata.

Perjalanan dari Bangkok ke Kanchanaburi naik mobil memakan waktu sekitar 2,5 jam. Tujuan pertama di sana adalah jembatan sungai Khwai Yae. Jembatan ini berfungsi sebagai rel kereta, juga penyeberangan untuk pejalan kaki. Ia terkenal akibat sejarahnya yang pernah dua kali dibom oleh Sekutu. Mungkin bagi wisatawan Indonesia situs ini kurang populer, tapi sudah banyak sekali wisatawan di sana yang datang dari berbagai negara.


Dari stasiun Kanchanaburi saya naik kereta tua tujuan Nam Tok. Rute Kanchanaburi-Nam Tok ini tersedia untuk penumpang umum maupun wisatawan. Kereta khusus wisata berangkat pada jam 10.46, tiketnya 300 baht per orang, dan masing-masing mendapat camilan dan minuman. Sedangkan kereta untuk umum ada banyak jadwal keberangkatan, tiketnya hanya 100 baht per orang tanpa camilan, dan kalau sedang ramai bisa tidak kebagian tempat duduk.


Kehidupan di atas, bawah, dan sekitar rel kematian.

Liburan bersama orang tua, kakak dan keponakan-keponakan.

Setelah keluarga kembali ke Bangkok, saya dan Diyan ke jembatan lagi esok harinya,
supaya saya ada waktu untuk menggambar.


Seingat saya, kereta kayu ini bukan asli dari tahun 1940-an, tapi sengaja dibuat sekuno itu. Lajunya lambat; butuh sekitar 2 jam untuk menempuh jarak 59 km. Tapi karena itu kita bisa puas menikmati pemandangan alam di sepanjang perjalanan. Dari pedesaan, lembah, gunung, sungai, hingga bukit yang dibelah, tak saya sangka bisa cuci mata dalam trip ini. Namun ada cerita ironis di balik semua keindahan itu.

Pembangunan rel kereta ini adalah penyebab dari penyiksaan yang saya sebutkan di atas tadi.  Aslinya, rute rel kereta dari suatu kota dekat Bangkok sampai Myanmar, tapi kemudian disisakan sebagian saja di dalam negeri Thailand karena alasan keamanan negara. Pekerjanya terdiri dari romusha (termasuk dari Indonesia) dan tentara Australia, Inggris, dan Belanda yang merupakan tawanan perang kala itu. Proyek yang seharusnya diselesaikan dalam waktu 6 tahun dipaksa harus kelar dalam 1,5 tahun oleh Jepang. Sadis, nggak tuh. Walhasil, sekitar 90.000 romusha dan lebih dari 12.000 tahanan perang tewas. Gimana nggak. Mereka dipaksa bekerja dengan alat tidak memadai (misalnya membelah bukit batu pakai alat cukil manual!), diberi waktu istirahat yang sangat minim, hampir tidak ada fasilitas kesehatan, saat panas maupun hujan harus tetap bekerja, tidak diberi baju ataupun sepatu ganti, dan dihukum fisik kalau ketahuan kerjanya lambat atau mangkir. Duh, saya heran, bisa ada manusia yang setega itu.


Perjalanan yang cukup lama, sempat foto-foto narsis.

Suasana kereta wisata.
Walaupun mendung, cuaca musim hujan bikin adem.


Untuk melengkapi ‘napak tilas’, terdapat beberapa taman makam para korban dan museum bertema pembangunan rel tersebut.

Yang pertama saya datangi adalah JEATH War Museum setelah kembali lagi ke Kanchanaburi. Namanya merupakan akronim kebangsaan para korban, yaitu Japanese, English, Australian, American dan Holland. Museum ini berbagi lahan dengan sebuah kuil, berdiri di tepi sungai Khwae Yai. Bagian pertama museum adalah bangunan bambu yang memuat foto-foto dan lukisan-lukisan tentang kekejaman masa pembangunan rel. Dari suasana bekerja paksa sampai kondisi tahanan perang yang tinggal tulang berbalut kulit dengan luka-luka di tubuh. Miris sekali melihatnya. Di dalam museum dilarang memotret menggunakan gawai apapun. Harga tiket adalah 50 baht per wisawatan asing. Hari sudah terlanjur sore, saya tidak melanjutkan ke museum bagian kedua. Saya lebih memilih untuk menikmati suasana sungai yang tenang.


Museum JEATH.

Sekawanan biksu juga sedang santai menikmati sore.

Museum yang lebih besar, lebih terkenal, dan lebih modern adalah Hellfire Pass Memorial. Museum ini terletak sekitar 80 km di luar kota Kanchanaburi, ke arah barat laut (makin menjauh dari Bangkok). Perjalanan ke sana melewati jalan raya yang mulus, diiringi pemandangan alam yang ciamik. Saya ke sana di hari kedua, boncengan motor dengan Diyan. Kanchanaburi di bulan Desember kala itu sedang musim hujan, sehingga cuaca sejuk. Naik motor 1,5 jam tanpa hambatan dan memakai celana pendek lumayan membuat saya kedinginan di sepanjang perjalanan.

Masuk ke Hellfire Pass Memorial gratis, tapi pengunjung diharapkan mengisi kotak donasi. Sepatu harus dilepas sebelum masuk ke gedung, seperti masuk ke masjid. Audio guide disediakan, juga secara cuma-cuma. Hellfire Pass Memorial ini terdiri dari dua bagian, yaitu museum dan trek bekas rel kereta di belakangnya.

Di dalam museum terpampang foto-foto dan benda-benda dari masa pembangunan rel. Kelamnya mirip dengan di JEATH, apalagi pencahayaan dibuat temaram. Hal-hal yang diceritakan di panduan audio banyak yang mengulang keterangan foto atau diorama, jadi saya pikir panduan ini lebih bermanfaat untuk didengarkan di trek rel.

Hellfire Pass Memorial Museum

Prisoners Constructing a Railway Bridge oleh Murray Griffin

Replika radio buatan para tahanan perang, yang mereka bikin untuk mencari informasi tentang keadaan perang.


Panjang trek totalnya 4 km, terdiri dari 19 poin dalam panduan audio. Tapi karena waktu yang terbatas, saya cuma sempat berjalan setengah rute. Di sepanjang trek, pepohonan menaungi jalan setapak dengan rapi. Kira-kira 300 meter dari titik awal, sampailah saya di Hellfire Pass. Inilah bukit batu setinggi 12 meter yang dibelah oleh para pekerja paksa dengan peralatan minim. Di poin ini juga paling banyak bertumbangan korban jiwa. Di dinding batu dan pohon yang tumbuh di dekatnya tersemat beberapa bendera kecil, boneka, dan pernak-pernik lain sebagai tanda hormat bagi para pekerja paksa. Hellfire Pass Memorial sendiri awalnya diprakarsai oleh pemerintah Australia, atas ide dari J G “Tom” Morris, seorang tahanan perang berkebangsaan Australia yang selamat setelah proyek jahanam itu.

Pernak-pernik penghargaan untuk para korban rel kematian.

Poin audio guide yang menjelaskan tentang patahan besi yang masih tertanam di dalam batu.

Rute trek mencakup poin yang mengharuskan kita naik turun tangga.


Walaupun Kanchanaburi identik dengan sejarah ‘rel kematian’, wisata kota ini terasa hidup. Di Jalan Maenamkwai, dekat Airbnb Frosty Homestay tempat saya menginap, berjajar restoran, kafe, dan lapak-lapak kerajinan tangan. Di malam hari sebagian tempat ingar-bingar dengan musik pop. Pasar malam, yang berlokasi di dekat terminal bus Kanchanaburi, menjajakan macam-macam, dari sushi sampai cengdem, dan semuanya murah (satu sushi cuma 5 baht, tapi rasanya, ya, ala kadarnya). Sedangkan wisata alam yang sempat saya datangi hanya air terjun Sao Yak Noi, tak jauh dari stasiun Nam Tok. 

Pasar malam Kanchanaburi.

War Cemetery, hanya 5 menit naik mobil dari JEATH Museum.

Air terjunnya biasa saja, tapi senang juga celap-celup kaki di air dingin.

Cocok untuk wisata keluarga.

Kota Kanchanaburi di sore hari.

Dilihat dari Bridge on the River Kwai.

Sungai Khwai Yae.

Membeli tiket wisata di pinggir rel. 


Awalnya saya ragu mengajak anak-anak kecil ini ke Kanchanaburi.
Ternyata mereka senang karena banyak pengalaman baru.

Kereta tidak ber-AC, hanya ada kipas angin. Jendela terbuka lebar, malah sulit untuk ditutup.

Diyan di hari ulang tahunnya, mendapat "kado" perjalanan yang sudah sangat diinginkannya.

Liburan keluarga, sesuatu yang sudah jarang saya lakukan.

Si history freak di dunianya.

Paku besi seperti ini juga dijual sebagai suvenir. Ada yang menjual dengan harga 500 baht dan sudah dibingkai.

Ada semacam balkon di sisi-sisi rel, untuk orang melipir jika kereta lewat.

Jembatan yang sudah beberapa kali direnovasi.

Mendengarkan audio guide sambil membayangkan apa yang benar-benar terjadi di Hellfire Pass.

Perjalanan dari Bangkok ke Kanchanaburi. Van dengan kapasitas 12 orang, kami hanya ber-8 plus supir. Lega!

Van-van siap mengantar pejalan di terminal bus.












7 comments:

  1. ini menarik banget, akhirnya naik ke blog, waktu itu sempet denger ceritanya.
    enggak nyangka beberapa jam dari Bangkok ada tempat bersejarah begini.
    tapi gue mungkin agak takut ke sana, gara-gara trip kemarin barengan orang Thai-nya cerita horor melulu. huhuhu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, cerita horornya kayak di film2 Thailand atau ada hubungannya sama sejarah juga? kalo yang kedua, jadi pengen denger ceritanya :P

      Delete
  2. Kalau dari foto pertama, relnya nggak sampai maju terus ya itu, Kak?
    Lalu rutenya dibelokkan sebelum itu apa bagaimana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya relnya udah banyak dibongkar. Di tempat trekking itu udah gak ada kereta lewat, relnya juga tinggal sisa-sisa gitu. Kalo fotonya di-zoom out, itu rel juga putus, cuma sisa yang kelihatan di foto itu aja :D

      Delete
  3. Rasanya pingin dateng ke sana buat liat langsung. Tapi kok baca ceritanya perasaanku langsung sedih di dalam gitu. huhuhuhu

    ReplyDelete
  4. Huaaaaa seru bangeeeett liburan keluarganya kak viraaaa....

    ReplyDelete
  5. liburan keluarga memang sangat menyenangkan, apalagi berlibur ke tempat yang menyimpan sejarah.. :)

    ReplyDelete