Nov 30, 2018

Lasem, Destinasi Travel Sketching dan Wisata Pintu




Bisa dibilang, Lasem adalah wisata pintu. Pintu-pintu kuno berwarna-warni di antara tembok-tembok tinggi yang menghiasi kota kecil di Pantura ini sangat mengundang wisatawan untuk menjadikannya objek foto. Di balik pintu-pintu itu terdapat rumah-rumah tua, rumah-rumah yang sudah direnovasi, rumah-rumah yang sudah beralih fungsi menjadi tempat bisnis, dan berbagai kisah kehidupan warga dari masa imigran Tiongkok baru tiba ke Lasem, melewati masa penjajahan Belanda, hingga kini.



Salah satu rumah yang menjadi ikon kota Lasem adalah Tiongkok Kecil Heritage, yang karena fasadnya dicat merah maka dikenal juga sebagai Rumah Merah. Rumah ini dibangun pada tahun 1860an, sekarang sudah beralih kepemilikan pada Pak Rudy Hartono, seorang pengusaha besar di sana. Rumah Merah kini berfungsi sebagai penginapan yang areanya tersambung dengan toko batik, kedai, dan museum batik kecil.

Rumah Merah sedang dalam proses pendaftaran untuk status situs warisan dunia UNESCO. Oleh sebab itu, mereka nggak bisa melakukan banyak perubahan pada struktur bangunan. Maka nggak ada kamarnya yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Cuma ada 4 kamar mandi/toilet di halaman belakang, dekat sumur kuning, terpisah dari bangunan utama. Jadi, untuk yang penakut dan suka terbangun tengah malam untuk buang air kecil, mungkin kamu harus membangunkan teman sekamar untuk menemani ke kamar mandi.








Rumah tua lainnya yang juga sering menjadi kunjungan para turis adalah Rumah Tegel. Ini rumah milik keluarga Lie Thiam Kwie, pengusaha tegel ngehits di awal abad ke-20. Pabrik tegelnya berdiri di tahun 1910, dibangun di halaman belakang rumahnya. Jadi, rumahnya sendiri mungkin sudah lebih tua.

Waktu ke sana, kami bertemu dengan Bu Liu, perempuan uzur yang lebih sering tinggal di Semarang. Ia cucu dari Lie Thiam Kwie, dan ia bercerita cukup banyak tentang kisah rumah dan pabrik mereka yang sering disebut Pabrik LZ (berasal dari kata Leipzig, sebuah kota di Jerman tempat asal mesin dan bahan pembuatan tegel mereka). Singkat cerita, masa kejayaan LZ sudah lewat jauh, cuma Bu Liu dan suaminya yang mau meneruskan usaha itu. Sekarang produksi tegel hanya kalau ada pesanan, itupun nggak optimal karena beberapa mesinnya sudah rusak dan mereka nggak mampu beli penggantinya.

Bu Liu juga bilang bahwa ia harus bikin usaha lain di Semarang untuk menyambung hidup. Pabrik LZ sudah nggak menguntungkan, malah kadang ia harus nombok. Nggak heran bahwa kondisi rumahnya kurang terawat. Perabotan ketara sekali tuanya dan terlihat kusam, halaman belakang yang super luas pun berantakan.





Layaknya sebuah pecinan, tentu ada kelenteng. Dari beberapa kelenteng yang ada di Lasem, kami hanya sempat mengunjungi Cu An Kiong, letaknya di sebelah Rumah Candu Lawang Ombo. Ini adalah kelenteng tertua di Lasem dan mungkin di  Pulau Jawa, juga mungkin didirikan pada abad ke-16. Sejujurnya saya sudah agak bosan berwisata ke kelenteng, tapi bentuknya tetap menarik untuk disketsa. Salah satu hal yang menarik bagi saya di dalam kelenteng ini adalah kisah bergambar di dinding, seperti komik. Sayangnya pemandu kami waktu itu nggak bisa menjelaskan apa-apa tentang gambar tersebut.





Wisata pecinan Lasem, yang berpusat di area Karangturi, memang semakin dikenal luas. Tapi sesungguhnya Lasem juga dikenal sebagai kota santri. Selama 4 hari kami jalan-jalan di sana, sering sekali kami berpapasan dengan warga beratribut islami. Salah satu tokoh masyarakat yang disegani di sana adalah Gus Zaim, pendiri pesantren Kauman yang berlokasi di Karangturi. 


Lalu ada juga pesantren Pondok Bodoh Al Frustasiyah yang punya konsep unik, dari segi pendidikan agamanya maupun arsitekturnya. Namanya pun unik, ya. Menurut seorang penghuni pesantren yang kami temui waktu saya sketching di sana, memang banyak orang yang datang ke sana karena merasa frustrasi dengan kehidupan, sudah mentok dan nggak tahu mesti ngapain lagi.





Pintu-pintu Lasem mungkin baru terekspos kecantikannya sejak Instagram naik daun. Sebelum itu, Lasem jauh lebih dulu dikenal sebagai kota batik dengan motif dan warna merah darah ayamnya yang khas. Batik khas Lasem biasanya bermotif penuh. Motif-motif bunga, hewan seperti naga dan ikan juga sering muncul.

Selain itu, batik tiga negeri juga merupakan tipe batik yang banyak dicari orang di Lasem. Bisa dibilang, batik tiga negeri merupakan simbol akulturasi budaya karena proses pewarnaannya melibatkan tiga kota, yaitu Lasem, Solo dan Pekalongan. Selembar kain batik yang sudah digambar kemudian dikirim antar tiga kota ini untuk diwarnai dengan warna khas masing-masing kota; merah darah ayam di Lasem, biru indigo di Pekalongan, dan cokelat sogan di Solo. Nggak kebayang, waktu belum ada mobil atau kereta, proses pembuatan selembar kain saja makan waktu berapa lama, ya?




Secara umum kami bukan penggemar masakan Jawa. Dua macam masakan yang katanya harus dicoba di Lasem, kami coba; lontong tuyuhan dan sate serepeh. Lontong tuyuhan mirip lontong ayam opor, tapi lebih gurih dan lebih light. Sate serepeh, saya bingung menjelaskan rasanya. Keduanya bisa kami nikmati, tapi bukan makanan yang akan kami cari-cari lagi. Malah, masakan cumi hitam dan pedas di Warung Bu Tri yang buat saya paling enak, tapi rasanya itu bukan khas Lasem.

Di luar rasa makanan, kami paling suka makan di Warung Mbak Marem karena suasananya. Warung nasi kecil ini berlokasi di pinggir jalan besar, dengan salah satu meja panjang yang menghadap jendela. Jadi, sambil makan bisa sambil ngelihatin orang-orang yang lalu-lalang dengan berbagai aktivitasnya. Saya bahkan sempat mencuri dengar ceramah tentang peran bagaimana wanita Islam seharusnya bersikap dari TV yang ada di kios bensin depan warung, yang sedang disimak oleh ibu berjilbab penjaganya.



Dua hari berturut-turut kami sarapan di Warkop Jenghai. Warkop ini terkenal dengan ampas kopinya yang lembut, sehingga bisa dijadikan bahan untuk menggambar di rokok. Kegiatan ini dikenal dengan ‘ngelelet’. Saya mencoba ngelelet, ternyata nggak semudah kelihatannya. Tapi saya nggak mencoba kopinya karena memang saya nggak tahan minum kopi. Ketan bumbunya yang terkenal, oke juga. Yang paling asyik di sana adalah mendengarkan percakapan bapak-bapak yang juga sedang sarapan, ngalor ngidul dari topik yang serius sampai berandai-andai jadi anak jendral, dilatari ramainya cuitan burung.





Di samping budaya dan kuliner, Lasem juga punya wisata alam. Pantai Caruban adalah salah satu yang terkenal, tapi kami nggak sempat ke sana. Karena Lasem panasnya bukan main, kami lebih memilih untuk ngadem di bawah pohon trembesi raksasa yang sudah berumur sekitar 200 tahun. Lokasinya lumayan jauh dari pusat kota Lasem dan susah mencarinya di Google Maps. Setelah salah belok beberapa kali, akhirnya kami sampai juga di sana.

Sejuknya angin yang bertiup sepoi-sepoi, ditambah lagi hari memang sudah sore, membuat kami ingin rasanya berlama-lama di sana. Tapi karena kami harus melalu jalan setapak di tengah-tengah persawahan tanpa lampu, kami memutuskan untuk segera kembali ke kota sebelum langit benar-benar gelap. Lagipula, motor sewaan harus dikembalikan paling telat jam 6 sore ke Rumah Merah!



Tulisan ini saya bikin hanya berdasarkan tempat-tempat yang saya gambar di sana. Sehabis ini, mungkin saya akan menuliskan itinerary yang kami jalani selama di Lasem, beserta how to get where dan where to sleepnya. Semoga sempat! 

4 comments:

  1. Terima kasih tulisannya Kapiya!
    Aku akan menjelajahi langkahmu di sana nanti. ^^

    Sketch-nya as always bagus-bagus banget. Laff

    ReplyDelete