Jan 12, 2020

Book Review: “How to Love Brutalism”

"How to Love Brutalism" oleh John Grindrod

-->

Sekilas, kok sadis amat buku ini? Kenapa kita mesti menyukai kebrutalan?

Karena Brutalism yang dimaksud di sini adalah sebuah gaya arsitektur yang berkembang sejak 1950an sampai awal 1980an. Karakter fisiknya nggak ada satu elemen yang pasti, tapi ciri yang umum bangunan Brutalis itu pake materi beton dengan bentuk yang nggak biasa. ‘Nggak biasa’ di sini bisa yang kotak besar doang dengan garis-garis kolom tebal tanpa ornamen pemanis, bisa juga strukturnya kecil di bawah dan drastis membesar ke atas, atau kombinasi beberapa bentuk yang sekilas terlihat saling bertabrakan semaunya. Ada juga arsitek yang berpendapat, bahwa gaya Brutalis itu yang penting idenya yang melawan arus, nggak mesti serba beton atau serba abu-abu.

Secara penamaan, sebenarnya nggak ada hubungannya dengan kekerasan atau sifat brutal. Awalnya arsitektur Swis-Prancis, Le Corbusier, yang mempopulerkan gaya ini. Materi yang ia gunakan adalah béton brut, istilah bahasa Prancis yang artinya beton kasar. Oleh orang berbahasa Inggris, ‘kasar’ ini disalahartikan menjadi sesuatu yang sifatnya seperti brutal, hingga jadilah ‘Brutalism’ atau ‘Brutalist’.


Unite d’ Habitation. Arsitek: Le Corbusier.


Lalu, kenapa saya baca buku ini? Padahal saya arsitek pun bukan. Brutal juga kayaknya nggak.

Berawal dari saat saya kerja di suatu majalah desain, ada kontributor yang menulis pembahasan tentang arsitektur Brutalis. Nama alirannya memang bikin nengok, ya. Maka saya telaah lagi tentang Brutalisme dan terheran-heran dengan contoh-contoh bangunannya. ‘Kok gini banget ya bentuknya?’ pikir saya. Seperti semaunya saja bikin bentuk gedung, yang juga berarti berani banget, nggak peduli apa kata orang. Dari situ, semakin saya tertarik dengan Brutalisme.

Waktu perjalanan di Eropa tahun lalu, salah satu fokus ketertarikan saya adalah arsitektur. Di Prancis saya memperhatikan atap mansard, di Brussels saya mencari gedung-gedung Art Nouveau, dan di Copenhagen saya mencari bangunan-bangunan karya Bjarke Ingels. Tapi baru ketika di Berlin saya sengaja mencari bangunan Brutalis, dan dapatlah Bierpinsel. Gedung ini sepertinya sedang nggak difungsikan, jadi saya nggak bisa masuk. Saya hanya memperhatikannya dari beberapa sisi, lalu menggambarnya dari kafe seberang jalan sambil sarapan ‘roti bulan sabit’ (percaya nggak, ini terjemahan untuk croissant). Bentuknya lucu, Diyan bilang seperti sikat toilet, saya sendiri lihatnya seperti lolipop atau pohon. Ternyata ‘bierpinsel’ dalam bahasa Jerman artinya sikat bir.

Bierpinsel di Steglitz, Berlin


Nah, kembali lagi ke buku. Yang dibahas di sini mulai dari awal mula tren Brutalis muncul, siapa saja arsitek yang mendesain bangunan Brutalis, bagaimana sambutan masyarakat, pemeliharaan gedungnya, hingga citra Brutalis yang sering diasosiasikan dengan kejahatan, kekerasan, dan kekumuhan di film-film. Gara-gara baca buku ini, saya jadi punya destinasi baru dalam bucket list: Chandigarh, di India. Pusat kota Chandigarh dirancang oleh Le Corbusier, bisa dibilang pelopornya Brutalis.

Banyak sekali contoh bangunan Brutalis yang disebutkan dalam tiap bab buku ini. Banyak pula yang saya belum tahu seperti apa bangunannya. Sayangnya, tiap bab cuma ada satu ilustrasi gedung. Jadi, sambil baca buku, saya harus sambil mencari di Google gedung-gedung lain yang dimaksud penulis. Soalnya, tulisannya banyak membahas ciri fisik gedung dan dikaitkan dengan banyak hal, jadi akan lebih mudah untuk mengerti kalau saya lihat bentuk gedungnya. Nah, proses bolak-balik ke Google ini cukup makan waktu, sehingga makin lama saya menyelesaikan bukunya, dan, ya, repot. Namun begitu, saya suka ilustrasi yang ada di buku. Sederhana saja, sebagian malah cuma pake garis outline, dan nggak berwarna. Tapi pas saya coba menggambar seperti itu, ternyata susah juga, apalagi kalau banyak bentuk repetitif yang ukurannya pun kecil-kecil.

Palace of Assembly di Candigarh


Buku “How to Love Brutalism” ditulis oleh John Grindrod, penulis yang sudah menerbitkan beberapa buku lainnya, tapi nggak semua bertema arsitektur. Di bab awal dia menulis bahwa banyak orang yang dia kenal membenci bentuk gedung-gedung Brutalis, dan jika kamu sampai perlu membaca buku dengan judul ini, berarti kamu pun pasti membencinya. Ternyata ini nggak akurat, setidaknya pada saya. Saya sudah menyukai Brutalis ketika menemukan buku ini di rak toko Do You Read Me di Berlin. Tapi waktu itu saya belum bisa menjelaskan kenapa saya suka, dan siapa tahu buku ini bisa memberikan jawabannya.

Gedung Unite d’ Habitation yang didesain oleh Le Corbusier pada tahun 1952 berulang kali disebut di buku ini. Konsepnya seperti kota mandiri yang disusun vertikal, suatu hal baru pada masa itu. Banyak contoh gedung Brutalis lainnya yang disebutkan juga punya nilai sosial yang cukup kuat. Tapi rasanya sih bukan itu yang bikin saya suka.

Sepertinya saya tetap menyukai Brutalis karena alasan pertama tadi – semaunya, nggak peduli apa kata orang lain. Dan setelah ditilik-tilik lagi, gedung-gedung ini banyak yang berkesan gagah bagi saya, kokoh. Enak aja ngelihatnya, mantap. Boleh kan ya menyukai sesuatu hanya karena alasan dangkal seperti ini?

 
Lokasi: Auguststrasse

Patung Brutalist "Apollo Pavilion" oleh Victor Pasmore
Salah satu gedung Brutalis yang dipelihara dengan baik, Royal National Theatre di London, arsitknya Denys Lasdun
Gedung apartemen eksklusif Torres Blancas di Madrid, didesain oleh Francisco Javier Saenz de Oiza.
Bentuknya mengingatkan pada tumpukan koin, nggak? Sengaja memakai bentuk bulat-bulat agar lebih organik
Ingin rasanya saya tinggal di apartemen ini karena suka sekali dengan bentuknya.
Habitat 67 oleh arsitek Moshe Safdie, menjadi landmark ikonik di Montreal.
Bab yang mengajak kita keliling dunia mengunjungi bangunan-bangunan Brutalis.
Menggambar Bierpinsel

Bierpinsel dilihat dari sisi lain 
Bierpinsel, dari sisi lainnya lagi. Penasaran pengen masuk!



4 comments:

  1. Di Jakarta juga ada beberapa gedung yang gaya arsitekturnya brutalis, bahkan di beberapa karya Andra Matin juga keliatan pengaruh brutalisme. Kalau gue suka ketika garis-garis tegas dan bidang lebar sebuah bangunan brutalis diberi sentuhan tanaman di sana sini, jadinya kombinasi yang unik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah yes, AM emang rada brutalis kayaknya ya. kalo gak salah di suatu wawancara dia pernah bilang salah satu pengaruh arsitekturnya didapat dari Le Corbusier, dan LC ini juga masuk di buku 'How to Love Brutalism'.
      Kayak pernah lihat deh kombinasi bidang2 tegas dengan tanaman yg lo bilang gitu di Jakarta, tapi lupa di mana.. Di Gran Rubina yang arah deket Epiwalk ada nggak tuh ya..?

      Delete
  2. foto2nya bagus. boleh tau pakai kamera apa kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. yg foto buku pake sony alpha nex f3, lainnya pake hp biasa

      Delete