Aug 27, 2020

Tiga Hari di Amsterdam

Bekas kantor VOC yang sekarang jadi perpustakaan.
Bekas kantor VOC yang sekarang jadi perpustakaan.

Pagi itu Hari Buruh Internasional alias May Day setahun yang lalu. Cuaca musim semi yang dinginnya seperti penghujung musim dingin menemani saya dan Diyan menunggu Flix Bus di halte seberang Antwerpen-Centraal, stasiun kereta Antwerp, Belgia. Layanan bus murah ini datang sedikit telat, seperti yang sudah diperingati dalam testimoni-testimoninya online. 

Tiga potong sushi kemudian, yang saya beli di supermarket di belakang halte, tibalah bus yang kami tunggu-tunggu. Begitu melihat paspor kami, sang supir menyapa kami dalam Bahasa Indonesia. Kaget juga, tapi setelah diingat-ingat bahwa banyak orang Indonesia di Belanda, nggak heran juga sih. 

 

Perjalanan bus lancar dan tidak macet seperti yang diwanti-wanti Deazy, teman kami yang sudah bertahun-tahun jadi penduduk Belgia. Memasuki kota Amsterdam, saya mengira akan langsung melihat gedung-gedung tua. Ternyata yang saya dapat adalah pemandangan gedung-gedung modern yang tidak mengesankan dan letaknya pun jarang-jarang, terlihat hampir tak beraturan. Mungkin bukan salah kotanya, tapi harapan saya saja yang berbeda.

 

Untungnya, sepetik kekecewaan itu segera diimbangi dengan keramahan host Airbnb kami, Aqeel, seorang migran dari Pakistan. Apartemennya berada cukup jauh dari pusat kota, kecil, dan bukan tipe yang stylish atau Instagrammable, tapi bersih, nyaman, dan cuma lima menit jalan kaki dari stasiun Strandvliet.

 

Eye Film Museum dilihat dari feri yang menyeberangkan kami ke NDSM.


Kami sampai di sana sudah agak sore. Sisa hari kami habiskan dengan jalan-jalan ke NDSM, area gentrifikasi yang memakai nama perusahaan yang tadinya bertempat di sana hingga tutup di tahun 1984. Nederlands Dok en Scheepsgebouw Maatschappij atau Dutch Dock and Shipbuilding Company, sekarang digantikan dengan berbagai bengkel seni, kafe, dan rusun mahasiswa. Grafiti menghiasi dinding-dinding bangunan, dan secara keseluruhan area ini tampak kurang tertata rapi. NDSM masih dalam proses perkembangan. Nantinya akan dibangun perumahan/apartemen, pertokoan, dan perkantoran di sana, dengan harapan masih tetap mempertahankan suasana kreatif, nyeni, dan ‘berantakan’nya.

 

Di musim panas, bazar, festival, dan nobar sering diadakan di NDSM yang areanya memang masih luas banget ini. Waktu kami ke sana sih, rada sepi. Kami cuma makan di suatu restoran, lalu jalan-jalan tanpa tujuan. Jam delapan malam matahari masih bersinar terang tapi angin bertiup semakin kencang. Temperatur makin turun hingga 11°C, real feel udah nggak belasan derajat lagi. Saatnya kami kembali naik feri gratis ke Central Station menuju pulang.









Hari kedua adalah hari yang saya tunggu-tunggu, bahkan sejak belum berangkat dari Jakarta. Ini harinya berkunjung ke Museum Van Gogh! Woohoo! Pelukis favorit saya sejak SMA, yang bukan hanya lukisannya tapi juga kisah hidupnya yang menyentuh dan bisa bikin melamun.

 

Berkat riset online, saya tahu bahwa antrean masuk museum ini semakin sore semakin panjang bak ular naga. Maka kami membeli tiket masuk jam 10 pagi. Antrean masih normal, nggak sampai 15 menit kami sudah bisa masuk. Gedungnya terletak di Museumplein, dekat museum-museum lainnya. Arsitektur gedung ini punya cerita sendiri, bisa dibaca di sini.

 

Ribuan koleksi lukisan Vincent Van Gogh dipamerkan dalam ruangan-ruangan yang membedakan eranya. Di situ saya baru tahu betapa produktifnya ia dalam melukis. Berbagai jenis objek dan gaya dipelajarinya, namun yang paling berkesan dan mendominasi adalah self-portrait, pemandangan ladang, dan still life. Terus terang saya sedikit kecewa karena lukisan terfavorit saya, “Starry Night”, tidak dipamerkan di sini, melainkan di MoMA, New York. Lukisan itu yang paling menginspirasi saya untuk belajar melukis waktu SMA, beserta lukisan-lukisan dari Franz Marc, Pablo Picasso, Michelangelo, dan lain-lain. Tapi untung saja, di museum itu ada karya-karya Van Gogh lainnya yang juga saya sukai, seperti “The Bedroom”, dan yang baru saya ketahui di situ, “Still Life With Bible”. Melihat lukisan dan mendengarkan keterangannya dari audio guide tak elak membuat mata saya kadang berkaca-kaca. Ini gabungan antara terharu dengan kisah di balik lukisannya dan terharu karena AKHIRNYA saya bisa melihat langsung lukisan-lukisan Van Gogh!

 

Untuk yang belum berkesempatan ke Museum Van Gogh, bisa menikmati koleksinya secara online di Google Arts and Culture.  



"Still Life with Bible" yang berkisah tentang keyakinan agama dan
hubungan Vincent Van Gogh dengan ayahnya.

"The Bedroom", kamar Van Gogh di akhir-akhir masa hidupnya yang suram.


 

Di hari itu barulah saya mulai menyukai kota Amsterdam karena baru terekspos ke area-area yang bangunannya lebih klasik, yang saya lihat sepanjang perjalanan dengan trem. Dan Museumplein, lokasi Museum Van Gogh berada, juga merupakah rumah dari beberapa museum menarik lainnya – Stedelijk, Moco, dan Rijksmuseum, yang dikelilingi hamparan rumput hijau nan asri. Nggak bisa dihindari, saya merasa sedikit iri dengan penduduk Amsterdam yang punya area semenarik ini. Sekilas tentang Museumplein bisa dibaca di sini.

 

Hari ketiga, Diyan memilih ke museum Tropen. Ini museum barang-barang dari negara-negara tropis yang pernah dijajah Belanda, termasuk Indonesia. Saya memilih berpisah, ke Museum Stedlijk, yang merupakan museum seni modern dan kontemporer. Selain temanya, saya juga tertarik karena bentuk bangunannya yang bagian baru: seperti bathtub raksasa! Lucu aja, sih.

 

Di Museum Stedlijk dipamerkan beberapa lukisan Van Gogh juga, sederet dengan Paul Cezanne, Henri Matisse, Pablo Picasso, Pete Mondrian, dan banyak lagi. Juga ada karya seni rupa bentuk lain, seperti patung dan instalasi.

 

Saya memang nggak begitu aktif berkesenian selain sketching. Tapi setiap berkunjung ke museum-museum atau pusat-pusat seni dan desain, bergejolak rasanya keinginan untuk berkarya dan berlatih skill baru. Karya-karya seni ini dan cara mereka diceritakan sangat menginspirasi, selain juga membuka wawasan akan kehidupan lain yang dikisahkan dalam karyanya, baik itu nyata maupun rekaan sang seniman. Penting bagi saya untuk sering berkunjung ke museum, biar lebih aktif lagi berkarya. Dan untungnya, sekarang bisa secara online!


Pete Mondrian.

Berkontemplasi atau... pegal?

Si bak mandi raksasa. 


 

Habis memanjakan diri dengan asupan seni, sore harinya saya janjian dengan Diyan untuk ketemu di Dam Square. Di situ pay-as-you-wish walking tour kami dimulai, dipandu oleh Free Walking Tours Amsterdam. Kami memilih tema sejarah Amsterdam. Pemandu kami adalah seorang guru Sejarah yang secara fisik mengingatkan saya pada Jason Segel, pemeran Marshall di sitkom “How I Met Your Mother”.

 

Yang saya ingat, kami diajak berjalan melewati bekas kantor VOC yang sekarang menjadi perpustakaan, restoran yang dulunya tempat Nazi menyekap korban-korbannya, dan Red Light District. Di area prostitusi legal ini terdapat Gereja Tua alias Oude Kerk, tempat para pelaut yang habis melakukan berjudi dan bermain dengan PSK melakukan pengakuan dosa. Menurut pemandu tur, tadinya area prostitusi agak jauh dari situ. Tapi lama-lama berpindah ke dekat gereja yang openminded itu agar lebih praktis bagi para pelaut untuk berkunjung. Ironis tapi nyata.


Salah satu area yang kami lewati saat walking tour.

Restoran yang tadinya tempat Nazi menyekap korban.


 

Malam terakhir di Amsterdam, kami manfaatkan sebaik-baiknya. Apalagi kalau bukan ke “coffeshop” untuk mencoba ‘Dutch delicacy’. Di situ saya mencoba brownies dengan efek terenak dan tersantai. Lucu juga pengalamannya. Ada sekelompok cowok di meja sebelah yang duduk santai dan tenang sambil nonton siaran lomba tolak peluru di TV. Iya, tolak peluru, nggak salah lagi, dan nggak lebih seru dari itu. Tapi mereka tampak sangat menikmati acaranya, menyimak dengan seksama sambil berkomentar sekali-sekali.

 

Kami tidak banyak mengunjungi tempat-tempat iconic, konsentrasi pas berjalan kaki pun sering harus terbagi dengan usaha menahan dingin. Musim semi yang aneh, bahkan orang lokal pun bilang waktu itu dingin sekali. Walau begitu, daerah kota tua dan Museumplein cukup membuat saya terpikat pada kota ini. Kalau ada kesempatan lagi, tentulah saya mau mengeksplorasi Amsterdam lebih menyeluruh, serta ke museum-museum lainnya lagi.

 

Jalan-jalan tanpa tujuan, kami menemukan restoran makanan Indonesia, deretan bazar,
dan gedung-gedung cakep.




Salah satu kanal dengan water bus untuk turis.

Kami pun naik water bus dan mendengarkan pemandu wisata menjelaskan
sejarah bangunan-bangunan di sepanjang kanal.


Ada yang seneng banget abis belanja di toko incerannya sejak dari Jakarta.

Di salah satu stasiun Metro.




Langit NDSM menjelang magrib. 





Henri Matisse. 

Tangga di dalam Stedelijk Museum.


Yayoi Kusama. 

Hari keempat, meninggalkan Amsterdam, menuju Copenhagen.


2 comments:

  1. Kalau gue setiap habis ke museum di luar negeri, suka berkhayal kapan ya di Indonesia ada museum kayak gini. Kalau museumnya gede, gue suka berkhayal jadi kuratornya. Tapi kalau museumnya kecil, ngayalnya gue jadi yang punya. Semoga gak cuma mentok di ngayal ya. Dari dulu pengen banget ke Amsterdam, terutama ke bekas kantor VOC. Pengen membayangkan dulu pas perdagangan rempah-rempah dari Hindia Belanda lagi masa jaya-jayanya, terus bikin VOC kaya raya, dan mendorong construction boom di Amsterdam. Ah yang penting pandemi ini cepat berlalu dulu deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asliiik, pengen banget di Indonesia ada banyak museum kayak di luar, yang seriuuuss digarapnya. Asik juga tuh khayalan lo jadi kurator atau pemilik! Gue kok mentok ngayalnya kerja di galeri/museum, tapi nggak tau jadi apa. Kayak, sering2 berada di situ aja kayaknya udah seneng, hahaha.
      Amsterdam emang kayaknya lebih oke kalo kita datengin agak lama deh, soalnya emang banyak yg menarik, terlebih lagi ada sejarah khusus antara Belanda dan Indonesia. Amin amin semoga cepat bisa ke sana yaaaa

      Delete