Feb 12, 2017

BUCKET LIST : MEMILIN KUMIS DALI

Kumis Dali. Susah ya menggambar kumis simetris!


Saya belum pernah ke Paris. Saya juga belum punya rencana pasti kapan ingin ke Paris. Tapi kalau ditanya saya ingin ke mana jika waktu dan ruang nggak menjadi hambatan, Paris adalah salah satu tempat yang ingin saya datangi. Tepatnya, ke Paris seperti yang ada di film "Midnight In Paris" di tahun 1920-an.

Di sana, saya akan ngobrol sama Paul Gauguin, Edgar Degas, dan Henri de Toulouse-Lautrec, nama-nama yang saya kenal dari kelas Seni Lukis waktu sekolah dulu. Saya ingin menyampaikan langsung pada Picasso, mungkin menyebutnya ‘Pablo’ saja supaya akrab, bahwa Blue Period dan Pink Period-nya telah menjadi bagian dari masa remaja saya yang agak emo, dan bahwa saya justru nggak begitu suka dengan gaya kubisme-nya.

Sketsa fashion style era Art Deco - menyenangkan deh menggambar ini.


Lalu saya akan nggak sengaja berpesta bareng Zelda dan F. Scott Fitzgerald, menanyakan pendapat mereka tentang film "The Great Gatsby" yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Carey Mulligan.
Lalu bergosip dengan Ernest Hemingway tentang kehidupan liar para seniman saat itu. Saya juga akan bilang pada Ernest, bahwa saya baru baca satu judul karyanya, "The Old Man and The Sea", itupun karena disuruh ibu guru. Mungkin saya akan urung memintanya menceritakan lagi buku itu tentang apa karena saya sudah lupa, takut dia tersinggung.

Kemudian saya akan minum di bar di sebelah Salvador Dali. Ngobrol tentang apa saja dengan Dali mungkin akan menarik, karena dia terbiasa dengan ide-ide aneh dan liar, seperti lukisannya. Tapi saya nggak akan memujanya sebagai pelukis karena saya nggak begitu suka surealisme, tapi saya akan minta izin untuk memilin kumisnya.

Sinar matahari gaya Art Deco - ala saya.


Tahun 1920an juga menarik saya untuk travel through time karena Art Deco-nya. Lagi-lagi, Paris. Di kota inilah gaya Art Deco mulai dipopulerkan, gaya yang konon dipengaruhi oleh gaya-gaya sebelumnya, Art Nuveau, Kubisme, Bauhaus, bahkan gaya Mesir Kuno dan suku Maya. Kemudian gaya ini menyebar ke mana-mana, bahkan sampai Indonesia.

Art Deco diaplikasikan pada berbagai media dalam kurun waktu 1920-1939. Pada arsitektur, desain interior, desain grafis, hingga mode busana seperti yang ada di film The Great Gatsby tadi. Khususnya pada arsitektur, desain interior dan grafis, saya terpesona dengan bentuk-bentuk bertingkatnya, garis-garis geometrisnya, dan bentuk pancaran matahari yang secara keseluruhan mengesankan kekokohan dan ketegasan tapi tetap mementingkan keindahan. Form follows function nggak berlaku pada Art Deco karena fungsinya adalah dekoratif semata – ada sikap “because I can” di situ, dan saya suka.

Kalau daydreaming mode dimatikan, melancong ke Paris di tahun 1920-an sepertinya mustahil. Kalau begitu, melancong ke Paris di masa kini pun saya nggak keberatan. Minimal saya bisa mendatangi tempat-tempat yang sejarahnya berhubungan dengan tokoh-tokoh dan perkembangan seni di atas. Pastinya nanti saya akan berulang kali menyerukan, "Oh la la!" 


Berikut ini sketsa-sketsa saya akan gedung Art Deco yang masih ada di Indonesia. 

Jakarta


Bandung



*Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway milik Nyonya Sepatu dan Jalan2Liburan
Juga dalam rangka 28 Days Blogging Challenge dengan tema “travel through time and space”. 

6 comments:

  1. Gw baru mau komen, gw pernah nonton film "Midnight in Paris" juga, lalu sedetik kemudian baru ingat... ternyata yang gw tonton film "Monster in Paris", film anak-anak gitu, hahahaha...

    ReplyDelete
  2. Aku kok lara hati liat sket gadis yang paling atas itu.
    Aku cedi

    ReplyDelete
  3. tenang aja Re, dia cuma kayak anak-anak IG masa kini kok.. aslinya ceria, tapi begitu mo difoto langsung pasang ekspresi muram .. LOL

    ReplyDelete
  4. Viraa, keren banget sih semua gambar kamu. jadi pengen nanya2 deh hahaha

    makasih yaa udah ikutan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mba Noniii.. hehee makasih mbaak :D
      Mau nanya-nanya apa niiih?

      Delete