Jun 17, 2019

PARIS, JE T'AIME


-->

Menara Eiffel sore dan malam hari.


Saya nggak berharap macam-macam terhadap Paris. Malah, tadinya kota ini nggak masuk itinerary kami karena sudah teramat sering melihat foto-fotonya di berbagai media. Yang membuat kami memilih Paris adalah karena kami dapat tiket Etihad dengan harga oke ke sana, sebagai gerbang perjalanan Eropa kami kali ini. Namun, ekspektasi saya salah. Ternyata ibukota Prancis ini mampu membuat kami berdecak kagum hampir di segala sudutnya!

KESAN PERTAMA TENTANG KOTA PARIS


Di penghujung musim semi yang masih saja dingin, Paris menyambut kedatangan kami dengan gedung-gedungnya yang cantik. Bentuk atapnya khas seperti trapesium, yang disebut ‘Mansard roof’. Ukiran detail menghiasi fasad, dari yang berbentuk flora hingga Medusa dan para malaikat kecil. Pagar balkon tak kalah detailnya, mempercantik gedung-gedung yang usianya sudah lebih dari seabad. Dari bandara kami turun di stasiun metro Sully-Morland, lalu jalan kaki 400 meter ke Airbnb. Kamar yang kami sewa berada di unit apartemen di lantai 4 di gedung sudah berdiri sejak tahun 1905 dan tidak ada lift. Lumayan juga ngangkat koper sampai ke lantai 4 - dan nomor lantai dimulai dari G, bukan 1, jadi sebenarnya kami naik ke lantai 5! 


Untungnya, apartemen tersebut berada di lokasi yang strategis. Selain dekat dengan stasiun Metro dan halte bus, dalam radius 300 meter terdapat banyak pilihan tempat makan. Ada beberapa toko roti, kafe, supermarket, hingga restoran Asia. Hampir semua pilihan roti/croissant/pai di sana terlihat lezat, dan yang kami cicipi enak semua. Padahal biasanya saya bukan penggemar pastry. Dan hanya dengan berjalan 10 menit, kami sudah tiba di tepi Sungai Seine yang membelah kota Paris. Duduk-duduk sambil makan roti di tepi Sungai Seine menjadi aktivitas kami di suatu sore, sambil melihat river cruise yang hilir mudik.

(Btw klik link ini buat dapetin voucher Airbnb!)

Kafe dekat Airbnb kami, dengan atap 'Mansard roof' khas Paris.


NAPAK TILAS AMELIE DI MONTMARTRE


“Amelie” adalah satu dari sedikit film yang saya tonton hingga berulang kali. Film Prancis karya Jean-Pierre Jeunet ini menceritakan tentang kehidupan Amelie Poulain, seorang gadis quirky yang diam-diam mengubah hidup orang lain di sekitarnya dengan sengaja, dengan caranya yang unik. Film ini banyak mengambil lokasi syuting di Montmartre, area berbukit di 18th arrondissement (distrik 18). Maka ke sanalah kami pergi jalan-jalan seharian.

Sacré-Cœur Basilica adalah lokasi Amelie main ‘kejarlah daku kau kutangkap’ dengan cowok yang ditaksirnya, Nino. Sekitar gereja ini super ramai. Antrean untuk masuk dan ikut tur dengan pemandu para pastor panjangnya bukan kepalang. Kami cukup menikmati bangunan ini dari luar. Diyan mengitari gereja, saya menggambar detail salah satu pintu di sampingnya (hasilnya bisa dilihat di sini). Beberapa orang berlalu-lalang dengan anjingnya, tapi sayang ada kotoran anjing yang tertinggal di anak tangga gereja di depan saya. Walau ramai begitu, suasana tetap terasa manis karena alunan biola yang manis dari seorang musisi jalanan. 

Sacre-Coeur Montmartre; arsitekturnya bergaya Roman-Byzantine, gaya yang nggak umum pada masa ia dibangun,
tahun 1875-1914. Dua patung di depannya adalah Joan of Arc dan Raja Saint Louis IX.

 
Kafe di Paris punya sejarah yang panjang. Dulu kafe-kafe adalah tempat untuk mencari informasi dari gosip sehari-hari hingga politik. Mereka juga biasa duduk di teras kafe sekadar untuk melihat-lihat orang lewat. Itulah yang kami lakukan di Restoran Le Consulat, yang berlokasi 300 meter dari Sacre-Coeur, ditemani secangkir kopi dan sepiring escargot.

Di Montmartre bukan cuma people-watching yang seru, tapi juga bus-watching. Banyak bus kota maupun bus wisata yang melewati ruas-ruas jalan Montmartre yang sempit, naik turun, banyak tingkungan tajam, serta disesaki para turis yang rajin berfoto. Kepiawaian supirnya dalam bermanuver patut diberi tepuk tangan yang meriah!



Berjalan menuruni bukit, kami menuju Café des Deux Moulins di Rue Lepic. Kafe ini tempat Amelie bekerja sebagai pelayan, tempat ia membenahi hubungan romantis temannya dan pelanggan kafe. Film keluaran tahun 2001 ini sepertinya berhasil sekali mempromosikan Paris atau khususnya Montmartre, walau mungkin secara nggak sengaja. Selain saya, sebagian pengunjung lain juga berfoto dengan poster Amelie di dalam kafe tersebut. Walking tour pun ada yang berhenti di samping kafe tersebut dan pemandunya menjelaskan tentang film Amelie.

Satu lagi lokasi film Amelie yang kami datangi adalah toko Maison Collignon, tempat Amelie suka membeli buah dan sayuran. Toko ini nama aslinya Chez Ali, tapi kemudian diganti dengan nama yang digunakan di film. Gedung dan display barangnya seperti toko-toko bahan makanan pada umumnya di Paris. Kami sempat membeli buah dan minuman botol di toko itu.

Mungkin agak halu karena Amelie Poulain ini tokoh fiktif, tapi saya senang berada di lokasi-lokasi ini, seolah-olah saya berada di dalam kehidupan Amelie juga. Kalau kamu juga penggemar Amelie, mungkin mau mencontek lokasi-lokasi di link ini, siapa tahu dalam waktu dekat kamu mau ke Paris.

Di konter kiri itu biasanya Amelie menghadapi para pelanggan, juga di antara meja-meja lainnya.
Maison Collignon. Kami pun berbelanja sedikit supaya lebih enak untuk foto-foto di situ.


GAYA DI MANA-MANA DAN JALAN KE MANA-MANA


Bahwa Paris adalah kota mode, kita semua pasti sudah sering dengar. Tapi karena saya nggak ada perhatian khusus terhadap mode, jadi saya nggak ngarep gimana-gimana tentang hal ini menjelang keberangkatan ke Paris. Tapi ternyata, dari hari pertama saja kami sudah melihat banyak sekali pejalan kaki dan penumpang Metro yang gaya alias stylish! Effortlessly stylish. Laki-laki, perempuan, tua, muda. Yang berantakan ala grunge pun, enak dilihatnya. Entah kenapa, mereka seperti punya special presence.

Di Paris (dan kota-kota Eropa lainnya) orang-orangnya sangat terbiasa berjalan kaki. Saya kurang tahu apakah harga mobil mahal seperti di Singapura, yang jelas kota mereka ini memang nyaman sekali untuk jalan kaki. Trotoar beres, nggak habis ruangnya untuk pedagang kaki lima, pot tanaman besar, motor bandel, ataupun pohon besar akibat pelebaran jalan (eh, curcol sedikit ini mah tentang Jakarta). Ditambah lagi, berjalan kaki sambil melihat gedung cantik dan orang-orang yang gaya. Enak banget, kan? Orang muda, tua, laki-laki, perempuan, pada jalan kaki dengan tegap ke mana-mana. Bahkan mereka yang rambutnya sudah uban semua, kulit keriputan dan punggung sudah bungkuk pun tetap semangat berjalan kaki.

Tangga di Montmartre.

Scroll down for more photos. 

TIPS


Total waktu yang kami habiskan di Paris sekitar 4,5 hari. Tips yang bisa saya bagikan ini berdasarkan pengalaman jalan-jalan seharian penuh setiap hari di sana.

  • Siapkan uang receh untuk ke toilet umum. Biasanya tiket toilet seharga 50 sen. Lebih baik siapkan uang pas karena sering mesin tiketnya nggak menyediakan kembalian.
  • Kalau dalam satu hari akan bepergian ke banyak tempat, lebih baik beli tiket harian seharga 7,5 euro, yang bisa digunakan untuk bus dan Metro.
  • Menara Eiffel sangattttt ramai pengunjung. Kalau mau ke sana pas nggak ada orang, datangnya super awal, seperti jam 7 pagi.
  • Pakai alas kaki yang nyaman buat jalan kaki jauh karena walaupun kamu naik Metro, turun naik ke peronnya cukup jauh, ada yang sampai 3 lantai ke bawah.
  • Kalau mau ke Museum Louvre, sebaiknya beli tiket online untuk menghindari antrean panjang.



Cafe Des Deux Moulins, tempat Amelie bekerja.

Poster film Amelie terpampang di dalam kafe.

Salah satu gang cantik nggak jauh dari Shakespeare And Company.


Karena gak boleh foto di dalam tokonya, foto buku yang dibeli di situ di luar aja deh.

Katedral Notre Dame yang terbakar, sudah mulai direnovasi. Lokasinya di seberang Shakespeare And Company.


Sumpah, ini bukan hasil editing Photoshop :))

Kalau mau sepi, datang jauuuuh lebih pagi.

Detail yang gilak! Tulisan itu adalah nama orang-orang yang ikut berperan dalam pembangunan Menara Eiffel ini.

Museum Louvre yang awalnya dibangun sebagai istana pada abad ke-12 atau 13.

Piramida kaca Louvre ini baru selesai dibangun tahun 1989, dirancang oleh arsitek I.M. Pei
yang baru saja wafat awal tahun ini.
Venus de Milo, alias Aphrodite yang ditemukan di Pulau Milos, Yunani.
Ini salah satu koleksi yang paling ingin kami lihat di dalam Museum Louvre.
Tingginya sekitar 5 m, termasuk pondasinya.
People-watching di Montmartre. Sudah sesak begini, masih banyak pula mobil dan bus lalu lalang.

Di tengah itu La Maison Rose (The Pink House) yang sudah ada sejak lebih dari seabad lalu,
sejak Montmartre belum menjadi bagian dari Paris. Ia baru dicat jambon sejak tahun 1905 oleh pemiliknya,
Ramon Pinchot, guru melukis Salvador Dali. 

Suasana Montmartre yang ditemui begitu selesai naik tangga yang tinggi tadi.
Maison Collignon, nama yang didapat dari film Amelie.

Salah satu pintu Sacre-Coeur. Detailnya minta ampun!

Susah banget deh motret gedung ini tanpa penampakan turis lain.
Kota Paris dilihat dari depan Sacre-Coeur.
Nggak bisa nggak foto di depan pintu bagus.
Detail suatu fasad gedung di Jalan Champs Elysees.


Random building with a mansard roof (1).

Random building with a mansard roof (2).
Suatu sore di Sungai Seine dekat Airbnb kami, sebelum hidung mampet akibat cuaca makin dingin.

No comments:

Post a Comment