Dec 30, 2023

Mengintip Masjid Tubaba Lampung

Lahir dan besar di Lampung, saya merasa familier dengan selera arsitektur di sana. Secara umum, menurut saya cukup konvensional. Sejak tahun 1990-an, banyak bangunan yang ditambahkan elemen dekoratif berwarna-warni dengan mengambil bentuk-bentuk ragam hias Lampung, tapi nggak serasi dengan desain bangunannya. Makanya saya kaget saat, di akhir tahun 2019, mengetahui bahwa ada masjid unik di Lampung dengan desain semodern, sekontemporer, dan sebrutalis Masjid Tubaba, hasil rancangan arsitek Andra Matin. Namanya Masjid As Shobur, tapi lebih dikenal sebagai Masjid Tubaba karena lokasinya di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba). 




Kala itu saya ke Lampung dalam rangka mengunjungi Mama di rumah kami di Bandar Lampung – yang sekarang sudah menjadi milik orang lain. Sekalian saya sempatkan untuk detour ke Tubaba, sekitar 100 km dari Bandara Radin Inten di Branti, yang kami tempuh dalam waktu 1,5 jam naik mobil yang disetir oleh om saya, dengan kondisi jalan lancar. Sudah ada jalan tol juga menuju ke sana. 

Jalan yang kami lalui adalah Lintas Tengah Sumatra. Kami melewati beberapa kota kecil dan ketika sudah masuk ke Kab. Tubaba terlihat rumah-rumah beton sederhana di sepanjang sisi jalan, dengan jarak yang masih agak jarang satu sama lain. Lalu bangunan tinggi abu-abu berbentuk menyerupai trapesium pun nampak di sebelah kiri. 



Masjid As Shobur berdiri di lahan yang luas, entah berapa meter persegi. Bangunan tinggi tadi merupakan bagian dari bangunan utama masjid, dan taman luas terhampar di hadapannya. Sebuah bangunan lebih pendek dan lebar yang didominasi kayu terdapat di sebelah masjid, yaitu gedung Islamic Center. 

Dari luar, gedung masjid terlihat kaku, keras, dan “dingin”. Fasadnya beton yang diekspos, tidak dicat ataupun ditutupi material lain. “Ini udah selesai dibangun?” kira-kira tanya om saya, yang belum biasa melihat bangunan seperti itu. 



Sekadar referensi, bagi yang belum familier dengan karya Andra Matin, atau studio andramatin, karya-karya lainnya antara lain kafe/galeri Dia.Lo.Gue dan toko buku Aksara (sebelum direnovasi) di Kemang, Jakarta, hotel Katamama di Seminyak, Bali, hotel Titik Dua di Ubud, Bali, dan Bandara Internasional Banyuwangi yang memenangkan Aga Khan Award. Walaupun modelnya variatif, ada satu kesamaan yang mudah terlihat dari bangunan-bangunan ini, yaitu material dasar yang terekspos. Katamama menggunakan batu bata merah, sedangkan bandara Banyuwangi menggunakan kayu ulin. 



Kala itu Tubaba terik sekali, serasa ada 12 matahari menggantung di langitnya. Tapi itu tidak menghalangi banyaknya orang yang menikmati kawasan masjid. Ada beberapa keluarga yang berfoto di taman, anak-anak berlarian di teras, dan sekelompok remaja duduk-duduk di tangga samping Islamic Center. Kolam di depan Islamic Center luasnya bukan main, hampir menyerupai danau. Uniknya, kolam ini dibelah dua, dengan jalan setapak di tengahnya. Saya langsung teringat kisah Nabi Musa yang membelah Laut Merah dengan tongkatnya. Adanya kolam besar ini, selain menjadi daya tarik sendiri bagi hamba Instagram, juga membantu menyejukkan suasana. Ikan-ikan yang sengaja dipiara di dalam kolam juga menambah keceriaan, terutama bagi para pengunjung cilik. 





Asyiknya lagi, hawa panas tidak ikut masuk ke dalam masjid. Kalau nggak salah, inii dihasilkan oleh sirkulasi udara yang baik. Sebagian sisi ruang ibadah ini tidak berdinding apalagi berpintu, dan atap di atas bagian shalat laki-laki sangat tinggi, setinggi 30 meter. “Seperti cerobong,” kata Mama. Atap inilah yang membuat gedungnya terlihat seperti bangunan bertingkat dari luar. Angka 30 menyimbolkan 30 juz dalam Al Quran. Di atapnya terdapat lubang cahaya sejumlah 99 buah, menyimbolkan 99 nama Allah. 


Salah satu sisi masjid memiliki dinding yang menggantung, dengan bentuk yang mengambil inspirasi dari Kaganga, yaitu aksara Lampung. Aksara ini juga diaplikasikan pada langit-langit gedung Islamic Center, serta di ‘plang’ depan masjid. Saya senang sekali dengan aplikasi aksara ini, sebab terlalu sering ikon siger dipasang pada fasad bangunan di Lampung dengan ala kadarnya, ‘asal ada’, dan nggak serasi dengan desain fasad secara keseluruhan. Saya pikir, pemilihan aksara sebagai wakil perlambangan tradisi Lampung menunjukkan bahwa tim desain menggali lebih jauh mengenai tradisi lokal, nggak cuma menggunakan apa yang sering digunakan selama ini. 


Fasad Islamic Center didominasi dengan kayu dan banyak celah terbuka di dinding serta langit-langitnya. Bangunan ini bertingkat dua, tapi saya cuma mengamati dari bawah karena terlalu malas membuka sepatu untuk naik ke lantai atas. Di lantai bawah, terdapat 4 ruangan yang terlihat seperti kubus-kubus kayu. Fungsinya sebagai ruang sekretariat, ruang dewan kesenian, dan toilet. 


Di samping hal-hal yang keren ini, ada satu hal yang saya sayangkan tentang masjid Tubaba Lampung. Saat saya berkunjung, beberapa batang sapu dan tong sampah besar plastik dengan warna-warni mencolok diletakkan sembarang saja di taman maupun di teras. Mungkin ini karena manajemen operasionalnya yang kurang rapi. Dan mungkin karena ada tong sampah di mana-mana, sampah pun tidak berserakan walaupun sedang banyak pengunjung. Tapi alangkah indahnya kalau tempat sampah pun didesain dan diletakkan dengan lebih serasi. (Warganet memang banyak mau!) 


Akhir kata, masih banyak lagi detail menarik dari kompleks Masjid As Sobur ini. Saya belum membahas jembatan tanpa tangganya, penataan pohon di tamannya, dan nama-nama surat Al Quran yang tertera di pilar-pilar koridor. Kalau kamu penasaran, mungkin lebih baik kamu melihatnya langsung ke sana sekaligus berkenalan dengan daerah Tubaba!


No comments:

Post a Comment